Senin, 04 November 2013

Fatwa-fatwa tentang Hukum Merayakan Tahun Baru Islam


1. Hukum Memberi Ucapan Selamat Merayakan Tahun Baru Islam
Fatwa Mufti Saudi Arabia sahamatus syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh –Hafizhahullah-
Pertanyaan :
Bolehkah memberi ucapan Selamat atau membuat perayaan tahun Baru?

Jawab:

Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.

Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada. Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يعببكم الله
“Katakanlah , “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Qs. Ali Imran:31)
Nuurrun ‘ala Ad-Darb (2/1/1427H)
2. Hukum Merayakan Tahun Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang Ulama Besar ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما
فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى،
ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.
ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً
محذور آخر. كتبه محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ
Jawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat.
Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.
Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka.  Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Allah berfirman :
أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ“
Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS. Al-Baqarah : 61)
Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn pada 24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian
Dari penjelasan di atas,  jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena:
  • Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
  • Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam.
Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
3. Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram:
سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله ما حكم التهنئة بالسنة الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟
فأجاب رحمه الله :
إن هنّأك احد فَرُدَّ عليه ولا تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه المسألة لو قال لك إنسان مثلاً نهنئك بهذا العام الجديد قل : هنئك الله بخير وجعله عام خير وبركه ،
لكن لا تبتدئ الناس أنت لأنني لا أعلم أنه جاء عن السلف أنهم كانوا يهنئون بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا المحرم أول العام الجديد
إلا في خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. انتهى المصدر إجابة السؤال رقم 835 من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب المفتوح
الإصدار الأول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و الإرشاد بعنيزة
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru islam. Bagaimana menjawab ucapan selamat tersebut.
Syaikh menjawab:
Jika seseorang mengucapkan selamat,maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang memulai. Inilah pandangan yang benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya: ”Selamat tahun baru!, anda bisa menjawab “Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan ditahun ini kepada anda”
Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari raya. Bahkan Salafus Shalih tidaklah menganggap 1 muharram sebagai awal tahun baru sampai zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Ini sama juga untuk ucapan-ucapan yang biasa beredar semisal “Kullu ‘aamin wa antum bi khoirin”.
Juga mengenai Hari Raya Lebaran, boleh mengucapkan “Mohon maaf lahir batin” dan yang semisal selama tidak mengandung dosa.

Jumat, 01 November 2013

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan


Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbedabeda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah l menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.
Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar?
Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan.
Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.
Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)
Allah Subhanahuwata’ala  mencela Dunia
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185)
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِّن ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaituwanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yangbaik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baikdari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepadaA llah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan AllahMahaMelihat akan hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15)
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32)
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24)
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Sesungguhnyajanji-janji Alla itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33)
Ketika membahas tafisr surat al-Fath, as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah l kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang hamba
senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  Mencela Dunia
Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا،
وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apayangkalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu )
وَاللهِ، مَا الدُّنْيَا فِي ا خْآلِرَةِ إِ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ
فِي الْيَمِّ-فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorangperawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu )
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu )
عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ  نَامَ رَسُولُ اللهِ
أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا
لَكَ وِطَاءً؟ فَقَالَ: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي
الدُّنْيَا إِ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ
رَاحَ وَتَرَكَهَا
Rasulullah tidur diatas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.a t-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu )
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا
مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu )
Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.
1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai.
2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telingakiri.
3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.
Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu.
Dunia, Sumber Malapetaka
Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Dunia pula yang menghancurkanpersatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.
Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.
Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran
Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia,
mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah  berfirman,
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2)
Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.
Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbanggabangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin
Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650)
Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya.
Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.
Dunia, Sebab Utama Kesesatan
Saat menafsirkan firman Allah l,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah.
Akhirnya, mereka mengubah ciriciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22)
Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”
Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah l, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.
Jadi, asal muasal cintanya adalah karena sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244)
Asy – Syaukani  berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)
Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan.
Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’
Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah l saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin?
Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’
Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orangYahudi saat mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun terdiam.

Zuhud


Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.
Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Makna dan Hakikat Zuhud
Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.
Selanjutnya Allah menyebutkan tentang musibah yang menimpa manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus menyikapi musibah tersebut. Sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu, orang yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Qur’an ketika berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.
Dari ayat itu juga, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.
Demikian juga ketika Rasulullah saw., ingin membawa para sahabatnya pada sikap zuhud, beliau memberikan panduan bagaimana seharusnya orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia. Rasulullah bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR Bukhari). Selanjutnya Rasulullah mencontohkan langsung kepada para sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia berupa harta dan kenikmatan dunia. Kehidupan Rasulullah saw. sangat sederhana dan bersahaja. Beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah swt. Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
Keutamaan Zuhud terhadap Dunia
Zuhud merupakan sifat mulia orang beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta, wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.
Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits yang menerangkan keutamaan zuhud terhadap dunia:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 14-15).
Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 45-46)
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 64).
Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah saw. mengabarkan kepada kita bahwa didatangkan orang yang paling senang di dunia sedang dia adalah ahli neraka di hari kiamat, dicelupkan ke dalam api neraka satu kali celupan. Kemudian ditanya, ”Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan? Apakah engkau merasakan kenikmatan (di dunia)?” Maka dia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Kemudian didatangkan orang yang paling menderita di dunia dan dia ahli surga, dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian ditanya, ”Wahai Anak Adam, apakah engkau pernah menderita kesulitan? Apakah lewat padamu suatu kesusahan (di dunia)?” Maka ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah aku mengalami kesusahan dan kesulitan sedikitpun.” (HR Muslim)
Rasulullah bersabda, “Demi Allah, perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang menyelupkan tangannya ke dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa.” (HR Muslim)
Tanda-tanda Zuhud
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda-tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan. Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah atau cinta dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.
Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.
Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a. berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”
Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman. Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”
Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Demikianlah cara umat Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai pemimpin berikutnya. Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.
Tingkatan Zuhud
Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.
Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)
Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Hal yang berkaitan dengan zuhud ada 6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan (kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian, ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. adalah orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki banyak harta, wanita, dan kedudukan.
Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.
Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt. Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.
Sedangkan orang kafir, karakteristiknya adalah rakus terhadap kehidupan dunia dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi mereka tidak ada istilah halal dan haram. Mereka tidak mengenal perbedaan antara nikah dengan zina, antara hadiah dengan suap, antara bisnis dengan riba, antara makanan halal dengan yang haram. Bahkan pada hal yang dianggap tabu saja orang-orang kafir berupaya menghalakan semuanya. Perzinaan mereka menghalalkan dengan dalil hak asasi manusia.
Berawal dari kebebasan hak untuk membuka aurat dalam berbusana. Permisif dalam pergaulan dengan membolehkan berduaan di tempat sepi. Berciuman di tempat umum dijadikan hal lumrah. Sehingga, perilaku perzinaan menjadi berita yang selalu dipertontonkan di teve dan dikabarkan di tabliod. Dari mulai perzinaan lelaki dengan perempuan yang belum menikah, perzinaan lelaki dan perempuan yang sudah menikah, sampai perzinaan sejenis: lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Dari perzinaan inces sampai perzinaan yang dilakukan bukan pada tempatnya. Begitulah kehidupan orang kafir. Mereka seperti hewan, bahkan lebih rendah lagi. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”
Tragisnya, kepemimpinan dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga, kerusakannya sangat dahsyat. Jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Pola hidup materialisme mendominasi di hampir semua lapangan kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana berhasil meraup sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan moral. Maka berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih sebanyak-banyaknya materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya materialisme itu. Pola hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah kerusakan yang sangat dahsyat. Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya dimana umat Islam terkena virus wahn (cinta dunia dan takut mati) dan berpola hidup materialisme hampir sama dengan orang kafir.
Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit yang paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan dan seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya. Karenanya, Rasulullah saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah dua serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)
Upaya penyadaran kembali umat Islam tentang hakikat dunia dan akhirat sangat penting. Bahwa keimanan terhadap hari akhir adalah prinsip yang harus terus menerus diingat dan ditanamkan kepada umat Islam sehingga motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan semakin zuhud. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin jahat dan semakin rakus.
Dalam sebuah riwayat disebutkan dua orang zuhud bertemu, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Syaqiq bertanya kepada Ibrahim, “Apa yang Anda ketahui tentang dunia?” Ibrahim balik bertanya, “Kalau menurut Anda, bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami tidak mendapatkanya, maka kami harus bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami harus bersyukur.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing Balakh (sebuah kota di Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu, bagaimana menurut pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan dunia, kami bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar (mengutamakannya untuk orang lain).” Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki tingkatan.
Kesalahpahaman terhadap Zuhud
Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta mengharap sedekah dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.
Segala yang halal itu jelas dan segala yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang syubhat yang harus kita jauhi dan tinggalkan. Semoga Allah menjadi kita bagian orang yang zuhud dan diberi kita pemimpin zuhud yang membimbing kita dalam memakmurkan dunia.