Sabtu, 30 Agustus 2014

Kisah DZUL QARNAIN dan YA’JUJ dan MA’JUJ



“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya””. (QS. al-Kahfi (18) : 83)

Mari kita simak kisah Dzul Qarna’in dan Ya’juj dan Ma’juj yang diabadikan Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an yang suci, agar kita tidak tersesat pemahaman akan sejarah melalui sumber yang benar.

Siapakah Dzul Qarnain?

DZUL QARNAIN. Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah bahwa: Dzul Qarnain adalah seorang Raja yang adil dan bijaksana yang telah menjelajahi Bumi sebelah Timur dan Bumi sebelah Barat. Ia adalah seorang mukmin penyebar agama Allah, melaksanakan sebab-sebab dalam mencapai tujuannya dan mempunyai banyak keajaiban atas kuasa Allah SWT. Ia mengajak penduduk negeri-negeri yang ditaklukkannya untuk beriman kepada Allah.

Dalam perjalanannya ke belahan barat bumi, Dzul Qarnain bertemu dengan suatu kaum yang hidup dalam ketakutan yang mencekam. Al-Qur’an menyebut tempat itu sebagai BAIN AS-SADDAIN, sebuah daerah yang terdapat diantara DUA GUNUNG yang sepadan tingginya.


Siapa Ya’juj dan Ma’juj?

Adalah YA’JUJ dan MA’JUJ. Mereka adalah termasuk keturunan ADAM alahissalam dari keturunan YAFITS bin NUH alaihissalam. Mereka juga adalah makhluk Allah, akan tetapi berparas dan berkelakuan sangat buruk.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah azza wa jalla berfirman, ‘Hai Adam!’. Adam menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu’. Allah berfirman, ‘Bangkitlah pada hari kebangkitan neraka!’. Adam pun bertanya, ‘Apakah hari kebangkitan neraka itu ya Allah?’. Allah berfirman, ‘Dari setiap seribu, yang sembilan ratus sembilan puluh sembilan itu ke neraka. Sedangkan yang masuk surga hanya satu. Pada hari itu, anak-anak kecil menjadi beruban dan orang-orang hamilpun melahirkan janinnya’. Lalu Allah melanjutkan firmannya, ‘Sesungguhnya ada diantara keturunanmu yang terdiri dari dua ummat, Aku memperbanyak mereka dalam sesuatu. Mereka adalah YA’JUJ dan MA’JUJ’” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.)


Pembangunan Dinding Pemisah

Dzul Qarnain mendapati kaum itu, “Suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan” (QS. Al-Kahfi (18) : 93). Untuk mempertahankan diri, mereka tidak bisa lagi dan sangat ketakutan kepada kezaliman dan kerusakan yang diperbuat oleh Ya’juj dan Ma’juj.

Kaum itu berkata, “Wahai Dzul Qarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu dapat membuat DINDING PEMISAH antara kami dan mereka?” (QS. Al-Kahfi (18) : 94)

Dzul Qarnain menolak tawaran harta dari kaum itu karena dia sudah mencukupi dengan harta yang diberikan Allah kepadanya. Ia hanya mengharap pahala jika dapat menolong mereka. Dzul Qarnain lalu berkata, “Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat)” (QS. Al-Kahfi (18) : 95)

Meskipun Dzul Qarnain mempunyai banyak bala tentara dan pengikut, ia tetap meminta pertolongan kaum tersebut dan tetap bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Inilah yang dinamakan MELAKSANAKAN SEBAB-SEBAB. Mereka lalu mengumpulkan harta, alat-alat, dan bersama-sama membantu Dzul Qarnain membangun DINDING PEMISAH dan menutup celah-celah diantara kedua gunung itu supaya dapat menutup jalan keluar terakhir bagi Ya’juj dan Ma’juj. Dzul Qarnain memenjarakan Ya’juj dan Ma’juj di negerinya sendiri. Bangunan seperti bendungan itu terbuat dari besi. Dinding dan tiang besarnya terdiri dari potongan-potongan besi dan tembaga.

Dzul Qarnain memerintahkan mereka, “Berilah aku potongan-potongan besi” (QS. Al-Kahfi (18) : 96)

Maka kaum itu pun mendatangkan potongan-potongan besi kepadanya. Kemudian dia meletakkan potongan-potongan besi itu bertumpuk satu sama lainnya diatas pondasi. Dan akhirnya besi-besi itu sama rata tingginya dengan kedua puncak gunung itu. Jadi, banunan itu bentuknya benar-benar tinggi dan besar.

“Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu” (QS. Al-Kahfi (18) :96)

Lalu Dzul Qarnain berkata, “Tiuplah (api itu)”. Sebagaimana pandai besi meniup api dengan semprongnya. Mereka pun menyalakan api pada seluruh besi itu hingga membara.
“Beri aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan keatas besi panas itu” (QS. Al-Kahfi (18) : 96)

Tembaga mendidih pun dialirkan keseluruh permukaan besi. Sungguh suatu pekerjaan yang sangat sulit dilakukan bahkan untuk dibayangkan. Membangun sebuah DInding Pemisah diantara dua buah gunung tinggi terbuat dari besi dan tembaga. Itulah kelebihan yang diberikan Allah kepada Dzul Qarnain. Suatu mukjizat seperti Allah mengilhamkan Nuh alaihissalam untuk membuat sebuah bahtera yang sangat besar. Maka Dzul Qarnain membuat sebuah Dinding besar yang menyatukan dua buah gunung yang tinggi dengan bahan-bahan yang tidak lazim pada masa itu yaitu BESI dan TEMBAGA.

Adapun Ya’juj dan Ma’juj, “Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya” (QS. Al-Kahfi (18) : 97)

Keberadaan besi dan tembaga itu membuatnya sangat licin dan sangat sulit untuk didaki ataupun dilobangi. Akhirnya Ya’juj dan Ma’juj terpenjara di balik kedua gunung itu dan kaum itu pun merasa aman.

Dzul Qarnain lalu berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar” (QS. Al-Kahfi (18) : 98)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi” (QS. Al-Anbiyaa’: 96)

Demikianlah Kisah Dzul Qarnain yang membangun DINDING PEMISAH yang memenjarakan YA’JUJ dan MA’JUJ hingga batas waktu yang ditentukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Batas waktu yang merupakan salah satu peristiwa besar yang merupakan babak akhir dari kehidupan di dunia. Sesungguhnya dinding itu akan terbuaka pada masa setelah kedatangan al-Masih ad-Dajjal. Dan adalah ISA PUTRA MARYAM alaihissalam yang akan membunuh Dajjal dan meberantas Ya’juj dan Ma’juj di akhir zaman nanti.

Apakah Benar The Great Alexander itu adalah Dzul Qarnain?

ISKANDAR AGUNG (The Great Alexander) yang KAFIR itu bukanlah DZUL QARNAIN yang diceritakan Allah dalam al-Qur’an surat al-Kahfi!

Berhati-hatilah wahai saudaraku, ma’asysyral muslimin wal muslimat…

Begitu banyak Kisah-kisah Israilliyat dan Nashara yang dipercayai sebagai kisah-kisah dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Banyak ustadz/ulama yang mengangkat Kisah The Great Alexander sebagai Kisah Heroik Islami, bahkan mereka mengangkat kisah ini diatas mimbar.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah menjelaskan bahwa:
Iskandar al-Maqduni alias Iskandar Agung alias The Great Alexander adalh anak Raja Philips al-Maqduni yang mencatatkan sejarah bagi DINASTI ROMAWI. Adapun menterinya adalah ARISTOTELES seorang filosof terkenal. Iskandar Al-Maqduni adalah keturunan Iskandariyah. Barangsiapa yang berkata Dzul Qarnain adalh dia, maka orang itu SALAH BESAR dan mengalami kerusakan yang panjang dan tersesat sangat jauh.

Beliau (Ibnu Katsir) juga berkata, Dzul Qarnain yang dimaksud dalam QS. AL-Kahfi adalah seorang HAMBA ALLAH yang MUKMIN, yang beriman dan beramal shalih serta seorang Raja yang adil dan bijaksana.

Menurut versi Barat, Dzulkarnain adalah Iskandar Zulkarnain alias Iskandar Bin Philips Al-Maqduny Al-Yunany (orang Mecedonia, Yunani). Ia berkuasa selama 330 tahun. Membangun Iskandariah dan murid Aristoteles. Memerangi Persia dan MENIKAHI puterinya sendiri. Mengadakan ekspansi ke India dan menaklukan Mesir.

Menurut Asy-Syaukany rahimahullah, “Sungguh pendapat di atas sulit diterima, karena hal ini mengisyaratkan ia seorang KAFIR dan FILOSOF. Sedangkan al-Quran menyebutkan; “Kami (Allah) mengokohkannya di bumi dan Kami memberikan kepadanya sebab segala sesuatu.” (QS- AL-Kahfi (18): 84).”

Menurut sejarawan muslim, Dzulkarnain adalah julukan Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar Bin Ifraiqisy dari daulah Al-Jumairiyah (115 SM – 552 M.). Kerajaannya disebut At-Tababi’ah. Dijuluki Dzulkarnain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung tanduk matahari di Barat sampai Timur.

Menurut Ibnu Abbas rahimahullah, ia adalah seorang raja yang shalih. Ia seorang pengembara dan ketika sampai di antara dua gunung antara Armenia dan Azzarbaijan. Atas permintaan penduduk, Dzulkarnain membangun benteng.

Para arkeolog menemukan benteng tersebut pada awal abad ke-15 M, di belakang Jeihun dalam ekspedisi Balkh dan disebut sebagai “Babul Hadid” (Pintu Besi) di dekat Tarmidz. Timurleng pernah melewatinya, juga Syah Rukh dan ilmuwan German Slade Verger. Arkeolog Spanyol Klapigeo pada tahun 1403 H. Pernah diutus oleh Raja Qisythalah di Andalus ke sana dan bertamu pada Timurleng. “Babul Hadid” adalah jalan penghubung antara Samarqindi dan India.

Demikian, pendapat ketiga Imam diatas (Ibnu Katsir, asy-Syaukani, dan Ibnu Abbas rahimahullah lebih dapat dipercaya daripada ceita-cerita karangan filosof-filosof kafir barat. Jangan sampai ummat Islam terlena dan tertipu pada kisah-kisah yang sudah diselewengkan oleh Kaum Yahudi dan Nashara. Bahkan banyak juga ulama Islam yang terpengaruh, dan berpendapat hamper sama dengan kaum kafir tsb. Semoga Allah mengampuni mereka… Amiin…

Pada Akhir Zaman Dinding Pemisah akan Runtuh dan Ya’juj dan Ma’juj akan keluar atas Kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala

YA’JUJ dan MA’JUJ. Suatu kaum keturunan ADAM alaihissalam dari keturunan YAFITS bin NUH alaihissalam. Mereka juga adalah makhluk Allah, akan tetapi berparas dan berkelakuan sangat buruk.

Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah azza wa jalla berfirman, ‘Hai Adam!’. Adam menjawab, ‘AKu memenuhi panggilan-Mu’. Allah berfirman, ‘Bangkitlah pada hari kebangkitan neraka!’. Adam pun bertanya, ‘Apakah hari kebangkitan neraka itu ya Allah?’. Allah berfirman, ‘Dari setiap seribu, yang sembilan ratus sembilan puluh sembilan itu ke neraka. Sedangkan yang masuk surga hanya satu. Pada hari itu, anak-anak kecil menjadi beruban dan orang-orang hamilpun melahirkan janinnya’. Lalu Allah melanjutkan firmannya, ‘Sesungguhnya ada diantara keturunanmu yang terdiri dari dua ummat, Aku memperbanyak mereka dalam sesuatu. Mereka adalah YA’JUJ dan MA’JUJ’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ya’juj dan Ma’juj yang zhalim itu telah dipenjarakan oleh Dzul Qarnain di celah DUA GUNUNG yang tinggi dengan DINDING PEMISAH yang terbuat dari BESI dan TEMBAGA. Mereka akan terkurung disana sampai batas waktu yang Allah kehendaki.

Dzul Qarnain lalu berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar” (QS. Al-Kahfi (18) : 98)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi” (QS. Al-Anbiyaa’: 96)

Lalu bagaimana kita dapat memahami dan meyakini bahwa mereka masih berada disana saat ini sampai akhir zaman nanti? Allah azza wa jalla Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ingatlah ketika Kaum Nabi MUSA alaihissalam yang tersesat di PADANG TEH selama 40 tahun.

Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”.
Allah berfirman: ” (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Teh) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”
(QS. al-Mai’dah (5) : 25-26)

Atau Allah menidurkan ASHABUL KAHFI didalam gua selama 309 tahun:

“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Katakanlah:” Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi…” (QS. al-Kahfi (18) : 25-26)

Allah Yang Maha Kuasa dengan mudah untuk berbuat apa saja yang manusia tidak akan mampu melakukannya bahkan dengan akalnya sekalipun.

“Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia…” (QS. Ali Imran (3) : 47)


Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj setelah masa kedatangan al-Masih ad-Dajjal dan Turunnya ISA Putera Maryam alaihissalam.

Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Para nabi adalah saudara anak-anak yang mempunyai satu bapak dengan beda ibu, ibu-ibu mereka banyak dan agama mereka satu. Aku orang yang pertama setelah Isa Putera Maryam, karena tidak ada diantara aku dan dia seorang nabi, sesungguhnya dia (Isa) akan turun, maka apabila kamu melihatnya maka kenalilah ia: Seorang laki-laki yang tinggi sedang, kulitnya antara merah dan putih, dia memakai dua pakaian yang dicelup dengan debu merah, kepalanya seolah-olah meneteskan air walaupun dia tidak kena basahnya, dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menetapkan pajak, menyeru manusia untuk memeluk Islam, maka Allah menyirnakan seluruh kebosanan pada zamannya kecuali Islam, dan ia bersama Allah akan membinasakan al-Masih ad-Dajjal pada zamannya, keamanan terkontrol dimuka bumi hingga singa dapat hidup bersama unta, harimau bersama lembu, serigala bersama kambing, dan anak-anak dapat bermain dengan ular. Dia menetap selama empat puluh tahun di bumi, kemudian wafat dan dishalatkan oleh kaum muslimin” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah ra. Dan dishahihkan oleh al-Adawi dalam kitab al-Fitan wa al-Malahim)

Isa alaihissalam juga akan memberantas Ya’juj dan Ma’juj.

Dari an-Nawwas bin Sam’an al-Kilabi, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ketika dia dalam keadaan seperti itu, Allah memberi wahyu kepada ISA, ‘Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba. Tidak satupun kaum yang tunduk jika diperangi oleh mereka. Mereka semakin kuat dari waktu ke waktu’. Kemudian Allah mengeluarkan Ya’juj dan Ma’juj. Dari setiap sisi mereka berkembang. Para penghulu mereka melewati laut kecil Tabristan dan meminum airnya. Sedangkan orang-orang terakhir dari mereka berkata, ‘Dalam laut ini terdapat air yang pahit’. Kemudian Nabi Isa dan para sahabatnya menjadi gelisah, hingga harga satu kepala sapi lebih mahal dari seratus dinar pada zaman kalian ini. Nabi Isa dan para sahabatnya menjadi tidak senang. Lalu Allah mengirimkan cacing-cacing di leher mereka (Ya’juj dan Ma’juj). Mereka pun mati seperti kuda yang mati. Lalu nabi Isa melewati bangkai-bangkai mereka. Mereka (nabi Isa dan para sahabatnya) tidak mendapati satu jengkal tanah pun kecuali telah dipenuhi bau busuk dari bangkai mereka. Nabi Isa lalu mengadu dan mohon pertolongan pada Allah. Lalu Allah mengirim burung-burung yang membawa bangkai-bangkai itu kesuatu tempat yang hanya Allah yang tahu. Kemudian Allah menurunkan hujan yang membasuh bumi hingga menjadi licin. Kemudian diperintahkan pada bumi, “Keluarkanlah buah-buahanmu!” (HR. Muslim)

Kemunculan Dajjal dan Terbukanya Dinding Pemisah yang memenjarakan Ya’juj dan Ma’juj merupakan tanda-tanda akan datangnya Hari Kiamat.

Hudzaifah bin Asid Al-Ghifari, ia berkata: “Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami saat kami sedang membicarakan sesuatu. Ketika melihat kami, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, ”Apa yang sedang kalian perbincangkan?”. Jawab mereka, “Tentang hari Kiamat”. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari Kiamat tidak akan datang hingga kalian menyaksikan – sebelum itu – sepuluh tanda-tanda kedatangannya. Maka Beliau menyebutkannya, yaitu: adanya asap, munculnya Dajjal, keluarnya hewan melata, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, turunnya Nabi Isa as, munculnya Ya’juj dan Ma’juj, serta terjadinya tiga gerhana: gerhana di belahan bumi timur, gerhana di belahan bumi barat, dan gerhana di Jazirah Arab. Adapun tanda yang terakhir adalah munculnya api di Yaman yang menggiring manusia menuju tempat berhimpun, al-Mahsyar.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda, “Laa ilaha illallah, celakalah orang Arab karena keburukan sudah semakin dekat. HARI KIAMAT datang sejak kehancuran Ya’juj dan Ma’juj seperti ini – beliau sambil melingkarkan jari jempolnya dengan jari sebelahnya – Zainab binti Jahsy bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami mendapat celaka padahal ada orang-orang yang shaleh diantara kami?”. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “YA, jika perbuatan nista sudah banyak dilakukan (manusia)” (HR. Bukhari dan Muslim)
BEBERAPA PENELITIAN TENTANG KEBERADAAN DINDING YA’JUJ DAN MA’JUJ

Abdullah Yusuf Ali dalam tafsir The Holy Qur’an menulis bahwa di distrik Hissar, Uzbekistan, 240 km di sebelah tenggara Bukhara, ada celah sempit di antara gunung-gunung batu. Letaknya di jalur utama antara Turkestan ke India dengan ordinat 38oN dan 67oE. Tempat itu kini bernama Buzghol-khana dalam bahasa Turki, tetapi dulu nama Arabnya adalah Bab al-Hadid. Orang Persia menyebutnya Dar-i-ahani. Orang Cina menamakannya Tie-Men-Kuan. Semuanya bermakna PINTU GERBANG BESI.

Hiouen Tsiang, seorang pengembara Cina pernah melewati pintu berlapis besi itu dalam perjalanannya ke India di abad ke-7. Tidak jauh dari sana ada danau yang dinamakan Iskandar Kul.

Di tahun 842 Khalifah Bani Abbasiyah, al-Watsiq, mengutus sebuah tim ekspedisi ke gerbang besi tadi. Mereka masih mendapati gerbang di antara gunung selebar 137 m dengan kolom besar di kiri kanan terbuat dari balok-balok besi yang dicor dengan cairan tembaga, tempat bergantung daun pintu raksasa. Persis seperti bunyi surat Al Kahfi.

Pada Perang Dunia II, konon Winston Churchill, pemimpin Inggris, mengenali gerbang besi itu.

Apa pun tentang keberadaan dinding penutup tersebut, ia memang terbukti ada sampai sekarang di Azerbaijan dan Armenia. Tepatnya ada di pegunungan yang sangat tinggi dan sangat keras. Ia berdiri tegak seolah-olah diapit oleh dua buah tembok yang sangat tinggi. Tempat itu tercantum pada peta-peta Islam maupun Rusia, terletak di Republik Georgia.

Al-Syarif al-Idrisi menegaskan hal itu melalui riwayat penelitian yang dilakukan Sallam, staf peneliti pada masa Khalifah al-Watsiq Billah (Abbasiah). Konon, Al-Watsiq pernah bermimpi tembok penghalang yang dibangun Iskandar Dzul Qarnain untuk memenjarakan Ya’juj-Ma’juj terbuka.

Mimpi itu mendorong Khalifah untuk mengetahui perihal tembok itu saat itu, juga lokasi pastinya. Al-Watsiq menginstruksikan kepada Sallam untuk mencari tahu tentang tembok itu. Saat itu sallam ditemani 50 orang. Penelitian tersebut memakan biaya besar. Tersebut dalam Nuzhat al-Musytaq, buku geografi, karya al-Idrisi, Al-Watsiq mengeluarkan biaya 5000 dinar untuk penelitian ini.

Rombongan Sallam berangkat ke Armenia. Di situ ia menemui Ishaq bin Ismail, penguasa Armenia. Dari Armenia ia berangkat lagi ke arah utara ke daerah-daerah Rusia. Ia membawa surat dari Ishaq ke penguasa Sarir, lalu ke Raja Lan, lalu ke penguasa Faylan (nama-nama daerah ini tidak dikenal sekarang).

Penguasa Faylan mengutus lima penunjuk jalan untuk membantu Sallam sampai ke pegunungan Ya’juj-Ma’juj. Selama 27 hari Sallam mengarungi puing-puing daerah Basjarat. Ia kemudian tiba di sebuah daerah luas bertanah hitam berbau tidak enak. Selama 10 hari, Sallam melewati daerah yang menyesakkan itu.

Ia kemudian tiba di wilayah berantakan, tak berpenghuni. Penunjuk jalan mengatakan kepada Sallam bahwa daerah itu adalah daerah yang dihancurkan oleh Ya’juj-Ma’juj tempo dulu. Selama 6 hari, berjalan menuju daerah benteng. Daerah itu berpenghuni dan berada di balik gunung tempat Ya’juj-Ma’juj berada.

Sallam kemudian pergi menuju pegunungan Ya’juj-Ma’juj. Di situ ia melihat pegunungan yang terpisah lembah. Luas lembah sekitar 150 meter. Lembah ini ditutup tembok berpintu besi sekitar 50 meter.

Dalam Nuzhat al-Musytaq, gambaran Sallam tentang tembok dan pintu besi itu disebutkan dengan sangat detail (Anda yang ingin tahu bentuk detailnya, silakan baca: Muzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq, karya al-Syarif al-Idrisi, hal. 934 -938).

Al-Idrisi juga menceritakan bahwa menurut cerita Sallam penduduk di sekitar pegunungan biasanya memukul kunci pintu besi 3 kali dalam sehari. Setelah itu mereka menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan reaksi dari dalam pintu. Ternyata, mereka mendengar gema teriakan dari dalam. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam pintu betul-betul ada makhluk jenis manusia yang konon Ya’juj-Ma’juj itu.

Dalam Nuzhat al-Musytaq, al-Syarif al-Idrisi juga menuturkan bahwa Sallam pernah bertanya kepada penduduk sekitar pegunungan, apakah ada yang pernah melihat Ya’juj-Ma’juj. Mereka mengaku pernah melihat gerombolan orang di atas tembok penutup. Lalu angin badai bertiup melemparkan mereka. Penduduk di situ melihat tubuh mereka sangat kecil.

Setelah itu, Sallam pulang melalui Taraz (Kazakhtan), kemudian Samarkand (Uzbekistan), lalu kota Ray (Iran), dan kembali ke istana al-Watsiq di Surra Man Ra’a, Iraq. Ia kemudian menceritakan dengan detail hasil penelitiannya kepada Khalifah.

Kalau menurut penuturan Ibnu Bathuthah dalam kitab Rahlat Ibn Bathuthah pegunungan Ya’juj-Ma’juj berada sekitar perjalanan 6 hari dari Cina. Penuturan ini tidak bertentangan dengan al-Syarif al-Idrisi. Soalnya di sebelah Barat Laut Cina adalah daerah-daerah Rusia.

Wallahu’alam…

BEBERAPA PENELITIAN TENTANG KEBERADAAN DINDING YA’JUJ DAN MA’JUJ

Abdullah Yusuf Ali dalam tafsir The Holy Qur’an menulis bahwa di distrik Hissar, Uzbekistan, 240 km di sebelah tenggara Bukhara, ada celah sempit di antara gunung-gunung batu. Letaknya di jalur utama antara Turkestan ke India dengan ordinat 38oN dan 67oE. Tempat itu kini bernama Buzghol-khana dalam bahasa Turki, tetapi dulu nama Arabnya adalah Bab al-Hadid. Orang Persia menyebutnya Dar-i-ahani. Orang Cina menamakannya Tie-Men-Kuan. Semuanya bermakna PINTU GERBANG BESI.

Hiouen Tsiang, seorang pengembara Cina pernah melewati pintu berlapis besi itu dalam perjalanannya ke India di abad ke-7. Tidak jauh dari sana ada danau yang dinamakan Iskandar Kul.

Di tahun 842 Khalifah Bani Abbasiyah, al-Watsiq, mengutus sebuah tim ekspedisi ke gerbang besi tadi. Mereka masih mendapati gerbang di antara gunung selebar 137 m dengan kolom besar di kiri kanan terbuat dari balok-balok besi yang dicor dengan cairan tembaga, tempat bergantung daun pintu raksasa. Persis seperti bunyi surat Al Kahfi.

Pada Perang Dunia II, konon Winston Churchill, pemimpin Inggris, mengenali gerbang besi itu.

Apa pun tentang keberadaan dinding penutup tersebut, ia memang terbukti ada sampai sekarang di Azerbaijan dan Armenia. Tepatnya ada di pegunungan yang sangat tinggi dan sangat keras. Ia berdiri tegak seolah-olah diapit oleh dua buah tembok yang sangat tinggi. Tempat itu tercantum pada peta-peta Islam maupun Rusia, terletak di Republik Georgia.

Al-Syarif al-Idrisi menegaskan hal itu melalui riwayat penelitian yang dilakukan Sallam, staf peneliti pada masa Khalifah al-Watsiq Billah (Abbasiah). Konon, Al-Watsiq pernah bermimpi tembok penghalang yang dibangun Iskandar Dzul Qarnain untuk memenjarakan Ya’juj-Ma’juj terbuka.

Mimpi itu mendorong Khalifah untuk mengetahui perihal tembok itu saat itu, juga lokasi pastinya. Al-Watsiq menginstruksikan kepada Sallam untuk mencari tahu tentang tembok itu. Saat itu sallam ditemani 50 orang. Penelitian tersebut memakan biaya besar. Tersebut dalam Nuzhat al-Musytaq, buku geografi, karya al-Idrisi, Al-Watsiq mengeluarkan biaya 5000 dinar untuk penelitian ini.

Rombongan Sallam berangkat ke Armenia. Di situ ia menemui Ishaq bin Ismail, penguasa Armenia. Dari Armenia ia berangkat lagi ke arah utara ke daerah-daerah Rusia. Ia membawa surat dari Ishaq ke penguasa Sarir, lalu ke Raja Lan, lalu ke penguasa Faylan (nama-nama daerah ini tidak dikenal sekarang).

Penguasa Faylan mengutus lima penunjuk jalan untuk membantu Sallam sampai ke pegunungan Ya’juj-Ma’juj. Selama 27 hari Sallam mengarungi puing-puing daerah Basjarat. Ia kemudian tiba di sebuah daerah luas bertanah hitam berbau tidak enak. Selama 10 hari, Sallam melewati daerah yang menyesakkan itu.

Ia kemudian tiba di wilayah berantakan, tak berpenghuni. Penunjuk jalan mengatakan kepada Sallam bahwa daerah itu adalah daerah yang dihancurkan oleh Ya’juj-Ma’juj tempo dulu. Selama 6 hari, berjalan menuju daerah benteng. Daerah itu berpenghuni dan berada di balik gunung tempat Ya’juj-Ma’juj berada.

Sallam kemudian pergi menuju pegunungan Ya’juj-Ma’juj. Di situ ia melihat pegunungan yang terpisah lembah. Luas lembah sekitar 150 meter. Lembah ini ditutup tembok berpintu besi sekitar 50 meter.

Dalam Nuzhat al-Musytaq, gambaran Sallam tentang tembok dan pintu besi itu disebutkan dengan sangat detail (Anda yang ingin tahu bentuk detailnya, silakan baca: Muzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq, karya al-Syarif al-Idrisi, hal. 934 -938).

Al-Idrisi juga menceritakan bahwa menurut cerita Sallam penduduk di sekitar pegunungan biasanya memukul kunci pintu besi 3 kali dalam sehari. Setelah itu mereka menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan reaksi dari dalam pintu. Ternyata, mereka mendengar gema teriakan dari dalam. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam pintu betul-betul ada makhluk jenis manusia yang konon Ya’juj-Ma’juj itu.

Dalam Nuzhat al-Musytaq, al-Syarif al-Idrisi juga menuturkan bahwa Sallam pernah bertanya kepada penduduk sekitar pegunungan, apakah ada yang pernah melihat Ya’juj-Ma’juj. Mereka mengaku pernah melihat gerombolan orang di atas tembok penutup. Lalu angin badai bertiup melemparkan mereka. Penduduk di situ melihat tubuh mereka sangat kecil.

Setelah itu, Sallam pulang melalui Taraz (Kazakhtan), kemudian Samarkand (Uzbekistan), lalu kota Ray (Iran), dan kembali ke istana al-Watsiq di Surra Man Ra’a, Iraq. Ia kemudian menceritakan dengan detail hasil penelitiannya kepada Khalifah.

Kalau menurut penuturan Ibnu Bathuthah dalam kitab Rahlat Ibn Bathuthah pegunungan Ya’juj-Ma’juj berada sekitar perjalanan 6 hari dari Cina. Penuturan ini tidak bertentangan dengan al-Syarif al-Idrisi. Soalnya di sebelah Barat Laut Cina adalah daerah-daerah Rusia.

Wallahu’alam…


DENGAN TELAH DITEMUKAN BUKTI-BUKTI KEBERADAAN DINDING PEMISAH YA’JUJ DAN MA’JUJ, PERTANDA HARI YANG DIJANJIKAN ALLAH (KIAMAT) ITU MAKIN DEKAT…

Tidak ada seorang manusia atau makhluk pun yang mengetahui kapan pastinya terjadi Hari Kiamat itu. Kita hanya diberi peringatan-peringatan atas tanda-tanda akhir zaman seperti yang telah banyak disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. al-A’raf (7) : 187)

Mari kita mempersiapkan bekal kita dengan memperbanyak amal kebaikan, tidak menunda-nunda berbuat baik, dan selalu pada jalur FASTABIQUL KHAIRAT…

“Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan”. (QS. Thaha (20) : 15)

Semoga Kisah Dzul Qarnain dan Ya’juj dan Ma’juj ini dapat menjadi pelajaran bagi kita dan kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari Kisah ini.

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf (12) : 111)

Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu “.
Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Qur’an).
Barang siapa berpaling daripada Al Quran maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat.
(QS. Thaha (20) : 98-100)

Kisah Hijrah Rasulullah yang Menggetarkan Jiwa



Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah Al-Mu-karramah ke Al-Madinah Al-Munawwarah berlang­sung 1432 tahun yang lalu.. Meskipun peristiwa besar itu terjadi sudah lebih dari 14 abad silam, pengaruhnya masih terus berlangsung dalam kehidupan kaum muslimin.


Hijrah adalah sunnatullah dalam kehidupan para nabi dan rasul, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Dengan ber­­hijrah, mereka bisa menegakkan agama Allah. Dengan berhijrah, para pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas mer­deka dari sistem Jahiliyah dan penin­dasan yang dilakukan para penguasa zhalim terhadap mereka.

Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu salah satu pilar utama penegakan Islam. Di samping itu, dengan hijrah seorang mukmin mendapat perlindung­an dari saudara-saudaranya yang lain. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhij­rah serta berjihad dengan harta dan jiwa­nya pada jalan Allah dan orang-orang yang mem­berikan tempat ke­diam­an dan pertolong­an (kepada orang-orang muhajirin), me­reka itu lindung-melindungi. Dan (terha­dap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebe­lum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan ke­pada­mu dalam (urusan pembelaan) aga­ma, kamu wajib memberikan pertolong­an, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Bagian Bumi yang paling Baik

Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beberapa kalangan di antara penduduk Madinah telah memeluk Islam. Berita ini pun sampai ke Makkah. Tersebarnya kabar tentang masuk Islam­nya sekelompok penduduk Madi­nah mem­buat orang-orang kafir Quraisy se­ma­kin meningkatkan tekanan ter­hadap orang-orang mukmin di Makkah.

Dalam upaya menyelamatkan dak­wah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Rasulullah SAW, atas perintah Allah, bersegera hijrah dari Makkah ke Madi­nah. Namun sebelumnya Nabi SAW me­merintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para saha­bat segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh musuh.

Menjelang Rasulullah SAW hijrah, kaum kafir Quraisy telah merencanakan upaya jahat untuk membunuh beliau. Ketika saatnya tiba, sebagaimana di­tuturkan oleh Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad, pe­muda-pe­muda yang sudah disiapkan kaum Quraisy untuk membunuh Ra­sulullah di malam itu sudah mengepung rumah be­liau. Pada saat bersamaan, Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk mema­kai jubahnya yang ber­warna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi SAW meminta Ali supaya ia tinggal dulu di Makkah un­tuk menyelesaikan berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksana­kan hijrah.
Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka me­lihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa orang yang mereka incar belum lari. (masyaAlloh)

Menjelang larut malam, Rasulullah keluar rumah menuju kediaman Abu Ba­kar Ashshiddiq. Beliau keluar melalui jendela pintu belakang dan terus bertolak ke arah se­latan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.
Untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah me­mutus­kan menempuh jalan lain, rute yang ber­beda, dari jalur yang biasa di­gunakan pen­duduk Makkah untuk me­nuju Madi­nah. Beliau juga memutuskan akan berang­kat bukan pada waktu yang biasa.
Para pemuda Quraisy yang beren­cana akan menyergap Nabi SAW pun ke­mudian memasuki rumah beliau. Na­mun alangkah terkejutnya mereka, ka­rena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muham­mad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh ba­haya, demi kebenaran, keyakinan, dan ke­iman­an.

Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah. Se­dangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.

Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari.
Sebelum melangkahkan kaki, Ra­sulullah menatap kota Makkah dari ke­jauhan. Dengan berlinang air mata, be­liau berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.”

“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”

Gua yang sempit dan jarang dising­gahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah ter­sebut.

Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Ab­dullah ditugasi untuk memantau per­kem­­bangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampai­kannya kepada Rasul pada malam hari­nya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan me­nyiap­kan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy beru­saha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Qu­raisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.
Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu.
Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.
“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.
“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persem­bunyi­an. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal se­hatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bah­kan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.
Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Apalagi men­de­ngar derap langkah orang-orang itu. Ia ber­kata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemu­kan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?”
Beliau menjawab dengan balik ber­tanya, “Apa yang ada di benakmu jika ber­duanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?”

Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Kalau kamu tidak menolong­nya, sesungguhnya Allah telah meno­long­nya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengu­sirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika ke­duanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada teman­nya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah me­nu­run­kan ketenangan kepada­nya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadi­kan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9): 40.

Padang Pasir nan Gersang

Setelah meyakini bahwa apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan ha­sil, gerombolan musyrikin ini mening­gal­kan gua tersebut.

Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.
Pada hari ketiga, ketika keadaan su­dah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun da­tang menyiapkan makanan.
Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya diguna­kan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehing­ga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Setelah tiga malam berada di gua, pada malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Ra­sulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk ja­lan yang bernama Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madi­nah. Rasulullah SAW duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”.
Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat meninggal­kan Gua Tsur.
Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, me­reka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW ber­sama Abu Bakar, Amir, dan penun­juk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristi­rahat di siang hari karena panas yang mem­bara dan kembali melanjutkan perjalan­an sepanjang malam, meng­arungi pa­dang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasulullah dan sahabat­nya berteguh hati dan merasa­kan damai yang me­nye­limuti.

Sambutan Penuh Suka Cita

Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan de­ngan tanggal 23 September 622 M, Ra­sulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Ke­mudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, semen­tara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum per­nah me­lihat dan bertemu Rasulullah mengira bah­wa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.
Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera mema­yungi beliau dengan jubahnya. Saat itu­lah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.

Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilo­meter dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksana­kan di tem­pat Bani Salim bin Auf. Untuk mem­peringati peristiwa itu, dibangunlah mas­jid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”.

Pada hari Jum’at itu pula beliau me­lanjutkan perjalanan menuju Madinah.
Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya su­dah tersiar di Yatsrib (Madinah). Pen­duduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Qu­raisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menanti­kan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan me­nge­tahui pe­sona bahasanya serta keteguhan pen­diriannya. Semua itu membuat me­reka rindu sekali ingin bertemu.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13 Ke­nabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan me­nyeruak di langit Madinah. Syair pun ber­kumandang:
Thola‘al badru ‘alayna
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alayna
Ma da‘a lillahi da‘
Ayyuhal mab‘utsu fina
Ji’ta bil amril mutha’
Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada’
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati

Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi peno­longnya. De­ngan penuh suka cita, ia telah memper­siapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu,” kata Abu Ayyub.
Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi SAW memilih untuk tinggal ber­sama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.

Hari itu jatuh pada hari Jum’at, se­hingga beliau bersegera untuk melak­sana­kan ibadah Jum’at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ra­nunah, Baqi,  tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan lang­kahnya. Nabi SAW turun dari unta­nya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”
“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.

Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam per­jalanan hijrah yang amat berkesan.
Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permu­suhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Me­reka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah. Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguh­nya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”
Para sahabat pun bersiap-siap, me­ngemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mem­pe­­dulikan lagi harta benda milik me­reka. Mereka ingin segera melaksana­kan pe­rintah Rasul itu.
Mereka berangkat secara sem­bunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah ber­sama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Me­reka tiba di rumah-rumah kaum An­shar dan mendapatkan tempat perlin­dungan.
Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali 

Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia mem­bawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahu­nya yang kokoh. Saat meninggalkan ru­mahnya, ia me­nuju Ka’bah. Sambil di­saksikan bebe­rapa orang tokoh Qu­raisy, Umar melaku­kan thawaf tujuh kali dengan tenang.
Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat.
Seusai shalat, ia berdiri seraya ber­kata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah!

Barang siapa ingin ibunya kehilang­an anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hen­daklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilin­dungi perjalanannya.

Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.
Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Kisah Keteladanan

Saat hijrah berlangsung, banyak pe­ristiwa dan kejadian penting yang patut menjadi teladan umat Islam.
Di antaranya kisah Suraqah bin Malik bin Ja’syam. Ia bermaksud menangkap Rasulullah SAW dan Abu Bakar, lalu menyerahkannya kepada Quraisy, ka­rena tergiur dengan iming-iming yang diberikan bila dapat me­nang­kap Rasul SAW.

Namun, belum sempat mendekati Rasul, kudanya terperosok dan ia pun ter­jungkal. Hal itu berulang-ulang terjadi hingga akhirnya ia memohon maaf dan mengaku terus terang perbuatannya untuk menangkap Rasulullah SAW ka­rena tergoda oleh imbalan besar yang di­janjikan orang-orang kafir Quraisy.
Rasulullah kemudian memaafkan­nya. Inilah kebesaran jiwa Nabi, yang mes­ti diteladani umat. Walaupun sese­orang sudah bersalah, kalau ia meminta maaf, kita wajib memaafkannya.

Perjalanan hijrah para sahabat pun banyak yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berbondong-bondong berhijrah ke Madinah meninggalkan harta, ne­geri, dan keluarga besar mereka. Me­reka bersabar dengan semua kesulitan dan rintangan yang ada di perjalanan mereka ke Madinah. Para muhajirin ini ada yang berkelompok, seperti hijrah­nya Umar bin Al-Khaththab Radhiyal­lahu ‘Anhu de­ngan ‘Ayyasy dan Ummu Sala­mah Ra­dhiyallahu ‘Anha bersama anak dan pendampingnya, dan ada yang berhijrah seorang diri, seperti hij­rahnya Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu ‘Anhu.

Ketika ia berangkat hijrah, kaum kuffar Quraisy menghalanginya di te­ngah jalan. Mereka berkata kepada Shuhaib Ar-Rumi, “Engkau datang ke­pada kami dalam keadaan miskin. Ke­mudian harta­mu bertambah banyak ke­tika bersama kami. Sekarang engkau ingin pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”

Mendengar teguran ini, Shuhaib mengajukan penawaran, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberikan seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”
Mereka menjawab, “Ya.”

Kisah ini terdengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, “Shu­haib telah mendapatkan keberuntung­an.”

Dalam riwayat lain disebutkan dari Shuhaib bahwa ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika me­reka menyusul dirinya, “Maukah kalian aku beri beberapa uqiyah emas lalu kalian membiarkan aku pergi?”
Mereka pun setuju.
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Galilah di depan pintu (rumah)-ku. Di bawahnya terdapat beberapa uqiyah  emas.’

Lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah di Quba sebelum beliau pergi meninggalkannya.
Ketika melihatku, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Yahya, perniagaan yang menguntungkan.’ Kemudian beliau mem­baca ayat ini (yang artinya, Dan di antara manusia ada orang yang mengor­bankan dirinya karena mencari keridha­an Allah, dan Allah Maha Penyantun ke­pada hamba-hamba-Nya).” — QS Al-Baqarah (2) 207.

Dalam riwayat lainnya ia berkata kepada orang Quraisy, “Sesungguhnya aku sudah tua dan aku memiliki harta dan perhiasan yang banyak. Tidak ada mudharat bagi kalian seandainya aku ikut kalian atau ikut musuh kalian. Aku serahkan semua harta dan perhiasanku dan aku beli agamaku dari kalian de­ngan itu semua.”
Akhirnya orang-orang Quraisy se­tuju dan membiarkan jalannya menuju Ma­dinah. Maka berangkatlah kembali Shuhaib Ar-Rumi menuju Madinah, lalu turunlah ayat di atas.

Imam Al-Alusi dalam kitab Ruh Al-Ma‘ani (2/97) menjelaskan kisah ini dengan mengatakan, “Shuhaib ketika berangkat berhijrah dikejar beberapa tokoh musyrikin, lalu ia turun dari ken­daraannya dan mengeluarkan isi tem­pat panahnya serta menyiapkan busur­nya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai kaum Quraisy, sungguh aku seorang ahli me­manah. Sungguh, demi Allah, tidaklah kalian mampu menyentuhku hingga aku habiskan isi tempat anak panahku ini dan aku tebas dengan pedangku se­lama tidak lepas pedang tersebut di tanganku. Setelah itu barulah kalian bisa berbuat sesuka kalian.’

Lalu mereka menjawab, ‘Serahkan­lah kepada kami isi rumah dan hartamu di Makkah  dan kami akan membiarkan kamu pergi.’

Kemudian orang-orang musyrik itu mem­buat perjanjian bahwa, bila ia me­nyerahkan kepada mereka, mereka akan membiarkannya pergi, maka ia pun menyetujuinya.
Maka Rasulullah pun bersabda, “Jual-beli yang menguntungkan, jual-beli yang menguntungkan.”
Lihatlah bagaimana komitmen ter­ha­dap Islam mengalahkan keinginan untuk memiliki semua harta, sehingga ia serah­kan seluruh harta bendanya agar dapat berhijrah ke kota Madinah. Ia serahkan seluruh harta bendanya bu­kan karena takut menghadapi orang-orang Quraisy, namun karena ingin berhijrah ke kota Ma­dinah dengan tanpa masalah. Per­juang­an yang patut dicontoh dan di­teladani.
***
Awal penindasan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin terjadi pada pertengahan atau akhir-akhir tahun keempat kenabian. Saat itu Az-Zahro telah mencapai usia delapan setengah tahun atau hampir mencapai sembilan tahun. Kemudian penindasan itu mencapai puncaknya pada per­tengah­an tahun kelima.
Ujian ini membuat kaum muslimin ber­pikir mencari cara yang dapat menye­lamatkan mereka dari siksaan yang pedih itu. Dalam kondisi tersebut tu­runlah Surat Az-Zumar, yang di dalam­nya terkandung isyarat yang agak jelas untuk melakukan hijrah. Allah SWT ber­firman yang artinya, ”Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, ber­taqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” — QS Az-Zumar (39): 10.

Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka be­liau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.

Pada bulan Rajab tahun kelima ke­nabi­an, hijrahlah kelompok pertama dari para sahabat menuju Habasyah. Mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istri­­nya, Sayyidah Ruqayyah, putri Ra­sul­ullah SAW. Nabi SAW mengatakan ihwal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”

Fathimah berpisah dengan kakak pe­rempuannya, Ruqayyah. Dalam perpi­sah­an tentu terdapat kekhawatiran, tetapi hal itu menjadi sesuatu yang remeh di ja­lan menegakkan agama Allah. Bahkan, se­gala sesuatu menjadi remeh. Anak men­jadi remeh, dan harta pun menjadi re­meh. Tanah air juga menjadi remeh di jalan meninggikan agama dan kalimat yang haq. Ruqayyah pergi hijrah meski­pun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan ter­masuk orang yang pertama hijrah un­tuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum muk­minin semuanya, karena Islam bukanlah agama diskriminatif.

Fathimah menghapus air mata yang keluar karena perpisahan dengan sau­dara perempuannya. Pada kedua bibir­nya tersungging senyuman, karena sau­dara itu akan mendapatkan ganjaran yang besar dari Allah SWT.
Setelah perpisahan ia pergi menjum­pai ibunya agar ibunya, Sayyidah Khadi­jah, melihat air mata di kedua matanya dan senyuman di bibirnya.

Hijrah yang diberkahi dan pertama kali menuju Habasyah itu dapat berlang­sung dengan selamat.
Fathimah dan ayahnya kemudian me­rasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabul­kan keinginan  kedua hati itu.

Kemudian datang seorang perem­puan dari kalangan Quraisy yang menga­takan, “Wahai Muhammad, sung­guh aku me­lihat menantumu bersama dengan istri­nya di atas keledai yang ditung­gangi­nya.”
Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Se­sungguhnya Utsman adalah orang per­tama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya mereka ber­dua adalah orang pertama yang hijrah ke jalan Allah setelah Nabi Luth.”
Ruqayyah tidak kurang kerinduan­nya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan sau­dara-saudara perempuannya. Bah­kan, mungkin ia termasuk yang paling meng­inginkan kembali ke Makkah di antara mereka yang hijrah itu. Dan mungkin itu karena ia belum pernah ke­hilangan kedua orangtuanya dan saudara-saudara pe­rem­puannya sebelum itu sebagaimana ia kehilangan mereka saat itu. Kejadian-kejadian berat yang dialaminya terutama ke­tika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, yang sangat mempenga­ruhi kesehatan­nya, sehingga orang kha­watir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.

Tetapi ia mendapatkan perhatian suami­nya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, yang semua itu membantu­nya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Lebih-lebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboi­kot­an yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.

Semuanya Bersujud

Akar dari berita yang tersebar itu adalah, suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan pada tahun itu me­nuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya ter­dapat para pemuka dan pembesarnya. Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah kum­pulan ini. Kaki Fathimah tidak beran­jak dari tempatnya menyaksikan kebe­ranian ayahnya ber­ada di tengah-tengah sekumpulan besar para musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah mengamalkan apa yang dipesan­kan oleh sebagian mereka kepada se­bagian yang lain.

Di antara ucapan mereka adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, ”Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” — QS Fush­shilat (41): 26.

Ketika Rasulullah mendatangi me­reka secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka de­ngan kalam Ilahi yang memukau, me­reka merasa bingung dengan apa yang mereka alami. Maka masing-masing  mereka mendengarkannya dengan baik. Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia).”

Setelah itu beliau sujud, dan tak ada se­orang pun yang dapat menguasai diri­nya sehingga semuanya bersujud.
Fathimah heran menyaksikan hal itu. Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang sombong dan suka mengejek itu pun sirna seke­tika. Mereka tidak bisa menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri me­reka menjadi kosong dan dingin ketika ter­sentuh oleh arus keyakinan yang tim­bul dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.

Kejadian ini merupakan petunjuk bagi setiap muslim bahwa sesungguh­nya ke­kuatan keburukan itu, betapa pun sewe­nang-wenangnya ia dan betapa pun ber­kuasanya ia, tak akan dapat melawan ka­limat-kalimat yang mengan­dung cahaya, dan tiang-tiangnya akan hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat Allah ini.

Berita-berita tentang kejadian ini sam­pai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah me­reka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.
Ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara me­reka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musy­rik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughi­rah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.

Ruqayyah dan suaminya juga kem­bali.

Ketika sampai ke perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayah­nya, karena sangat rindunya. Ke­mudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera mene­mui­­nya. Mereka memeluknya dan me­ngalir air mata di pelupuk mereka karena per­pisahan yang singkat namun lama. Wa­laupun singkat dalam masanya, lama dalam kerinduan dan penderitaannya.
Setelah itu tampak hakikat yang se­benarnya bahwa kaum Quraisy tetap ber­­ada dalam kekufurannya, penentang­an­nya, dan gangguannya. Lalu orang-orang yang hijrah pun kembali ke Ha­basyah.
Ruqayyah kembali bersama suami­nya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya.
Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mere­ka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.

Dalam Perlindungan An-Najasyi

Kemudian orang-orang Quraisy ber­pikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi. Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Me­reka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi‘ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka pun mengumpulkan hadiah-hadiah yang akan dibawa kedua­nya untuk An-Najasyi.
Maka bertolaklah mereka di depan mata Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya yang tetap tinggal bersama beliau.

Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Ha­basyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja‘far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umai­mah, dan Ruqayyah, cucu saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan mereka dari tipu daya Amr dan saha­bat­nya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, meng­harapkan kemu­rah­annya agar berkenan membela umat Islam, yang telah memilih untuk berlin­dung kepadanya.

Hati Sayyidah Fathimah yang bersih juga bergetar karena khawatir akan nasib saudaranya, Ruqayyah, dan suami sau­daranya itu. Ia juga khawatir akan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Ibunya melihat bahwa di wajahnya terdapat kekhawatir­an yang tak diungkapkan oleh lisannya.
Namun Ummu Kultsum dapat mene­nangkannya dan segera mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu terha­dap `Amr dan sahabatnya. Sesungguh­nya pertolongan Allah itu dekat. Tidak­kah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari me­reka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan pe­tunjuk dari-Nya yang di­sadari oleh hati-hati yang beriman? Se­sungguhnya mereka yang kafir itu se­andainya tidak mau beriman mereka akan hina. Bukan­kah keadaan mereka ini merupakan pe­tunjuk menyerahnya me­reka dan kehina­an mereka? Sesung­guh­nya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalan-Nya. Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan me­reka dan sesungguh­nya Allah akan me­nolong orang yang menolong agama-Nya. Dan mereka itu memang meng­ingin­kan pertolongan Allah dan ingin menyam­paikan agama­nya kepada semua yang berada di muka bumi.”

Sikap Rasulullah yang diam juga me­nenangkan Fathimah, karena beliau tidak berkata-kata menurut hawa nafsu­nya dan tidak ada sesuatu melainkan tampak pada wajahnya. Jika ada suatu kebaikan, wajahnya diliputi kegembiraan dan ke­bahagiaan; dan jika ada keburuk­an, wa­jahnya berubah menampakkan apa yang beliau tahan dalam dirinya.

Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyerah­kan kepada setiap orang suatu hadiah, ke­mudian mereka menyampaikan ha­diah­nya kepada An-Najasyi. Mereka me­minta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang me­ning­galkan agama mereka. Lalu terjadi­lah persaingan antara yang haq dan yang bathil, antara keimanan dan ke­kufuran, an­tara sumber-sumber kebaik­an dan sum­ber-sumber keburukan. Ke­mudian me­nanglah kebaikan, iman, dan kebaik­an, atas kebathilan, kekufuran, dan ke­burukan.

‘Amr dan Abdullah kembali ke kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan. Maka tahulah kaum Quraisy bagaimana sikap An-Najasyi dan bahwa semua yang ada di tempatnya akan berada dalam per­lindungannya dengan aman, dan bahwa usaha apa saja dari kaum Quraisy agar An-Najasyi mau mengem­balikan kaum muslimin yang hijrah tidak akan berhasil.
Fathimah yakin, kedua utusan itu te­lah kembali dalam keadaan terhina. Ia juga yakin, Allah akan menolong agama ini, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Tidak ada kejadian-kejadian yang dialami kaum muslimin melainkan merupakan isyarat-isyarat dari Tuhan se­kalian alam yang membuat hati setiap mukmin menjadi tenang. Itu isyarat yang jelas, tidak ada kesamaran di dalamnya, dan memiliki maksud yang penting yang menguatkan hati orang-orang yang ber­iman.

Setiap kali awan semakin banyak
kilat menyambar
hujan akan turun
dan awal hujan itu adalah rintik-rintik
Jika kesulitan bertambah berat, akan datang cahaya kemudahan. Kesulitan dan kemudahan itu dua hal yang ber­cam­­pur sampai kemudahan dapat mengalah­kan kesulitan. Bagaimana pun beratnya langkah kesulitan, pasti suatu hari kemu­dahan akan dapat mengalah­kannya.
Wallahu a’lam

Air Mata Rasulullah SAW



Tiba-tiba dari luar pas pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” – “Umatku, umatku, umatku”
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintainya seperti ia mencintai kita? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi sungguh begitu cintanya Rasulullah kepada kita.
Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu di akhirat.

Air Mata Kerinduan Uwais Al-Qarani Kepada Rasul SAW



Di negeri Yaman, hiduplah seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarani yang berasal dari kabilah Qaran. Uwais Al-Qarani mempunyai jiwa yang bersih dan mulia. Dia seorang yang pintar dan selalu melakukan pencarian makna hidup. Meskipun saat itu dia masih belum mengenal ajaran Islam yang mulia, dia sangat menghormati nilai-nilai mulia kemanusiaan. Di antara sikap dan perilaku Uwais yang paling menonjol sekali ialah penghormatan yang besar terhadap ibunya. Dia bersikap amat lemah-lembut kepada ibunya yang sudah tua dan dia amat mengerti tanggung jawabnya sebagai anak. Dia dapat merasakan kesulitan seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anaknya. Oleh karena itu, dia melayani ibunya seperti seorang pelayan yang taat dan patuh. Uwais sama sekali tidak melupakan jerih payah ibunya.

Suatu saat, Uwais Al-Qarani mendengar kabar bahwa ada seorang nabi yang berhijrah dari kota Mekah ke Madinah dan sebagian dari masyarakat mengikuti ajaran nabi tersebut. Uwais dengan perenungannya, sampai kepada kesimpulan bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang benar-benar diutus oleh Tuhan karena perintah dan ajaran yang disampaikan beliau berlandaskan kepada akal dan sesuai dengan nilai-nilai tinggi insani. Uwais mempercayai kenabian Muhammad SAW dan dia ingin sekali bertemu dengan beliau. Dia ingin melakukan perjalanan ke Madinah dan melihat sendiri keindahan hati Muhammad dari dekat. Tetapi, kondisi ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuatnya mengurungkan niatnya itu.

Berbulan-bulan lamanya Uwais memendam harapan dan impiannya tersebut. Sampai suatu hari, dia mengambil keputusan untuk menceritakan  keinginannya itu kepada ibunya. Uwais dengan sopan duduk di hadapan ibunya dan berkata, “Wahai ibu, aku tidak dapat menahan hati untuk bertemu dengan seorang lelaki yang telah diutus sebagai nabi. Engkau pun tahu bahwa anakmu ini tidak pernah berfikir tentang hal-hal selain dari kebaikan dan kebenaran. Jika ibu mengizinkan, aku ingin sekali pergi menemui Rasul Tuhan itu dari dekat.” Ibu Uwais yang amat terkesan melihat kesungguhan dan gelora keinginan anaknya untuk bertemu dengan Nabi, berkata, “Wahai anakku, aku izinkan engkau untuk pergi ke Madinah, tetapi aku minta supaya setelah engkau bertemu dengan Nabi segeralah engkau pulang ke Yaman dan janganlah engkau berlama-lama di sana.”

Dengan penuh gembira, Uwais menerima permintaan ibunya itu dan dia pun melakukan perjalanan untuk pergi ke Madinah. Meskipun perjalanan begitu jauh dan menyulitkan, namun semangat dan keinginannya yang besar untuk bertemu Nabi menyebabkan dia merasa begitu gembira hingga tidak merasa lelah dalam perjalanan. Siang dan malam dia tempuh perjalanan tanpa menghiraukan kesulitan dan kelelahan yang menderanya. Akhirnya, sampailah Uwais Al-Qarani ke kota Madinah. Dengan tidak sabar lagi, dia bertanya ke sana kemari untuk mencari Nabi Muhammad. Tetapi, berita yang didapatkannya amat mengecewakan. Orang-orang Madinah memberi tahu Uwais bahwa Nabi sedang keluar dari kota untuk beberapa hari.

Begitu Uwais mendengar berita ini, dia mengeluh panjang dan terduduk di atas tanah. Segala kelelahan terasa menimpa seluruh tubuhnya. Sedemikian besar rasa kecewa yang menyelubunginya sehingga dia menangis sejadi-jadinya. Orang-orang membujuknya dengan mengatakan bahwa dia bisa tetap tinggal di Madinah dan menjadi tamu mereka sampai Rasulullah kembali dari perjalanannya.

Tetapi Uwais berkata bahwa dia mempunyai seorang ibu tua yang sedang menanti kepulangannya. Uwais mengambil keputusan untuk segera pulang ke Yaman meskipun dia belum berhasil menemui Nabi, demi melaksanakan janjinya kepada sang ibu. Dia berkata kepada para sahabat dan keluarga Nabi, “Aku terpaksa pulang ke Yaman. Aku minta pada kalian, jika Rasulullah pulang, sampaikanlah salamku kepadanya.”

Beberapa hari kemudian Rasulullah SAW pulang ke Madinah. Ketika beliau mendengar kisah Uwais, beliau memujinya dan berkata, “Uwais telah pergi, namun cahayanya tetap tinggal di rumah kami. Angin sepoi dan aroma wewangian surga bertiup ke arah Yaman. Wahai Uwais! Aku juga ingin sekali menemuimu. Sahabatku, siapapun di antara kalian yang bertemu dengan Uwais, sampaikanlah salamku kepadanya.”

Dalam sejarah dikatakan bahwa memang Uwais tidak pernah dapat bertemu dengan Rasulullah. Tetapi, karena pengorbanan yang telah dilakukannya buat ibunya, namanya tercatat abadi dalam sejarah.

Rasulullah SAW dan Shalat Malam

‘Atha’ bin Abi Rayyah berkata: “Suatu hari aku pergi ke rumah Aisyah, aku bertanya kepadanya tentang perbuatan Nabi yang manakah yang paling menakjubkannya sepanjang hidupnya?” Ia menjawab: “Semua perbuatan Rasulullah sangatlah menakjubkan, namun dari semua perbuatan beliau yang menakjubkan itu adalah suatu malam ketika beliau sedang beristirahat, tiba-tiba beliau bangkit dari tempatnya lalu mengambil air wudhu dan mendirikan shalat. Dalam shalatnya air mata beliau mengalir dengan deras sekali sehingga baju  yang beliau kenakan basah karena tetesan air mata beliau, kemudian beliau bersujud dan begitu derasnya tetesan air mata beliau sehingga tanah pun basah karena air mata beliau, hal itu berlangsung hingga tiba waktu subuh.”
Ketika Bilal shalat subuh bersama Nabi dan melihat beliau menangis dalam shalatnya, ia bertanya: “Mengapa anda begitu menangis, bukankah anda telah terliputi oleh kasih sayang Allah?” Beliau menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Tidak Boleh Melalaikan Shalat Awal Waktu

Ibnu Abbas berkata: Terkadang Sayyidina Ali Kw ketika bertempur melawan musuh  melihat ke langit, kemudian melanjutkan peperangannya, dan kembali melihat ke atas langit.
Seseorang bertanya kepada beliau: “Kenapa kamu melihat ke langit?” Beliau menjawab: “Karena saya tidak mau kehilangan shalat awal waktu.”
Ibnu Abbas berkata: “Sekarang ini anda sedang berperang.” Beliau menjawab: “Tidak boleh melalaikan shalat awal waktu.” 

Fatimah Az-Zahra Manusia Paling Taat Beribadah

Beliau juga seperti ayahanda serta suaminya adalah manusia yang paling taat beribadah, begitu asyiknya dan tak kenal lelahnya beliau beribadah hingga kaki beliau membengkak seperti ayahanda  dan sang suami.
“Tiada seorangpun dalam umat ini yang lebih taat beribadah dari pada Fatimah, ia sering beribadah hingga membengkak kedua kakinya.”
Imam Husain berkata: “Suatu malam aku lihat ibuku sibuk beribadah hingga terbit fajar.”

sebuah pesan yang di tunjukan oleh khalifah Umar bin khatthab RA



Sudah berhari-hari orang Yahudi itu berjalan menuju Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar bin Khattab, Amirulmukminin. Ia banyak mendengar kabar bahwa bahwa Amirulmukminin seorang yang terkenal bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Jauh-jauh ia datang dari Mesir dengan sebuah harapan, Khalifah mau memperhatikan nasibnya yang tertindas.


Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirulmukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga.
“Jangan-jangan…..Khalifah tidak mau menerimaku….,” katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu. Prajurit masuk menemui khalifah Umar.
“Wahai Amirulmukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan” sahut prajurit. “Bawalah ke hadapanku,” Perintah Khalifah.
Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirulmukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman.
“Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya,” sambut Khalifah. Rupanya benar…..apa yang kudengar tentang Khalifah, kata orang Yahudi dalam Hati.
Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. “Ya Amirulmukminin, saya ini orang miskin…,” kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirulmukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Di Mesir, kami punya sebidang tanah,” lanjut orang Yahudi.
“Ya..lalu, ada apa? Tanya Amirulmukminin. “Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi gubernur mau membangun Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu….,” tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. “Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana? Jika semua milik kami digusur oleh gubernur…..tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan.”
Orang Yahudi memohon dengan memelas. “Oh, begitu ya? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh gubernurku,” kata Amirulmukminin mengangguk-angguk.
Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi itu.
“Kau tidak bermaksud menjual menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi?” tanya Khalifah.
“Tidak!” orang Yahudi menggelengkan kepalanya.
“Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun….,” Orang Yahudi tetap pada pendiriannya.
“Baik-baik, aku akan membantumu,” kata Amirulmukminin. Hati orang Yahudi merasa lega karena Amirulmukminin mau membantu kesusahannya.
“Hai, Yahudi,” kata khalifah kemudian. “Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu!” perintahnya.
“Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu….?” tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah.
“Ini tulangnya, Tuan. “Orang Yahudi menyerahkan tulang unta kepada khalifah.
Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.
“Serahkan tulang ini pada gubernur Mesir!” kata Amirulmukminin lagi.
Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia tidak puas.
Kedatangannya menghadap khalifah untuk mendapat keadilan, tetapi khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada gubernur.
“Ya Amirulmukminin, jauh-jauh saya datang minta tuan membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada gubernur…?” sahut orang yahudi.
“Serahkan saja tulang itu!” jawab khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya.
“Aneh…. Khalifah Umar menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada gubernur….,” gumamnya sepanjang perjalanan ke negerinya.
Setibanya di mesir, orang yahudi bergegas menuju kediaman gubernur.
“Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu,“ kata orang yahudi.
“Oh kau rupanya., ada apa lagi?” kata gubernur.
“Saya baru saja menghadap Amirulmukminin,” kata orang yahudi.
“Lantas ada apa?”
“Saya disuruh memberikan tulang ini ….” orang yahudipun segera menyerahkan tulang onta ke tangan gubernur.
Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat khalifah Umar sudah membuat hati gubernur ketakutan bukan main.
“Hai, pengawal!” tiba-tiba ia berteriak keras.
“Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid,” kata gubernur.
Orang yahudi menjadi heran dibuatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan gubenur yang akan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergambar pedang dan garis lurus dari khalifah tadi, gubernur tampak sangat ketakutan.
“Hai,, Yahudi! Sekarang juga ku kembalikan tanah dan milikmu. Tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati….,” sahut gubernur terbata-bata.
Pesan dalam tulang itu dirsakan gubernur seakan-akan khalifah Umar berada dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirulmukminin.
“Tuan Gubernur ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi….? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu….? Padahal Amirulmukminin tidak mengatakan apa-apa?” tanya orang yahudi masih tak mengerti.
“Hai, Yahudi. Tahukah kau? Sesungguhnya Amirulmukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini,” kata Gubernur.
Orang yahudi bertambah heran saja.
Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang….” Gubernur menceritakan isi pesan yang terkandung dalam tulang onta itu.
Kini orang yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirulmukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orng tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin.
“Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirulmikminin dan keadilan yang diberikan pemerintah islam. Karenanya, saya ingin menjadi orang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata.”
Tanpa ragu sedikitpun orang yahudi itu langsung bersahabat dan merelakan tanahnya untuk didirikan sebuah masjid.

Kisah Khalifah Umar bin Khattab dengan Pengembala Kambing



Pada zaman pemerintahan Saidina Umar Al-Khattab, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai pengembala kambing. Pemuda tersebut adalah seorang hamba sahaya yang amanah dan jujur. Kedua-dua orang tuanya telah meninggal dunia, dan dia hidup sebatang kara, yatim piatu serta hamba sahaya pula.
Setiap hari pemuda tersebut mendaki bukit bakau dan merentasi padang rumput untuk menghalau kambing-kambing milik majikannya dari satu lembah ke satu lembah lain. Dia menjaga kambing-kambing tersebut dengan baik dan amanah seolah-olah kambing kepunyaan sendiri.

Kemudian, suatu hari  Amirul Mukminin Umar bin Khattab ditemani Abdullah bin Dinar berjalan bersama dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan anak gembala. Lalu timbul dalam hati Khalifah Umar untuk menguji sejauh mana kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu. Khalifah Umar pun mendekati pemuda pengembala itu, seraya berkata: " Sungguh banyak kambing yang kamu pelihara, lagi pula sangat bagus dan gemuk-gemuk semuanya. Oleh karena itu kamu juallah kepadaku. Saya menginginkan seekor darinya yang gemuk dan bagus."

Mendengar kata-kata demikian, pengembala tersebut menjawab: "Kambing-kambing ini bukanlah milik saya, tetapi milik majikan saya. Saya hanyalah seorang hamba dan pengembala yang mengambil upah saja."
Umar bin Khattab berkata lagi, ''Katakan saja nanti pada tuanmu, kambing itu dimakan serigala.''

Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ''Fa ainallah?''… ''Fa ainallah?''…(Dimana Allah? Dimana Allah?”) anak itu mengulang-ulang. (Kurang lebih maknanya adalah, ''''Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?"")

Umar bin Khattab adalah seorang khalifah, pemimpin umat yang sangat berwibawa lagi ditakuti, dan tak pernah gentar menghadapi musuh. Akan tetapi, menghadapi anak gembala itu beliau gemetar, kagum, sekaligus bahagia memiliki rakyat yang taat kepada Allah SWT.

Seketika, Umar bin Khattab pun menangis dan mendekap anak itu. Kemudian beliau minta ditunjukan rumah majikannya. Tak lama, Umar bin Khattab membeli anak gembala itu dan kambing-kambingnya dari majikannya. Lalu, ia memerdekakan anak gembala itu dan menghadiahkan seluruh kambing itu sebagai balasan atas sifat amanah dan keimanannya.

MENGENAL TIPUDAYA (STRATEGI) SYI’AH DALAM MEMURTADKAN KAUM MUSLIMIN



Akhir-akhir ini ramai lagi dibicarakan tentang Syi’ah di negeri ini. Hal ini tidak lain karena lembaga yang diklaim milik Syi’ah yang selama ini “sukses” menyembunyikan jatidiri mereka mulai terbongkar melalui pengakuannya secara tersirat. Namanya bangkai, sepandai-pandai orang menyembunyikannya, pasti lama-lama bau busuknya akan tercium juga.

Namun, ada sebagian kaum muslimin yang beranggapan hal ini bukanlah suatu masalah yang perlu diributkan dan dibesar-besarkan. Tak perlu masalah Sunni-Syi’ah dibawa-bawa ke negeri ini, karena bagaimanapun juga keberadaan kelompok Syi’ah di negeri ini tidak akan membahayakan bagi masyarakat Sunni, bahkan akan menjadikan rahmat bagi umat Islam ini. Dan bagaimanapun juga, bagi mereka Syi’ah adalah saudaranya semuslim.

Anggapan-anggapan seperti ini biasanya muncul dari seseorang yang tidak mengetahui hakekat Syi’ah, baik mengenai bentuk kesesatan ajaran yang ada di dalamnya ataupun tipudaya (strategi) mereka dalam memurtadkan kaum muslimin Ahlus Sunnah. Sehingga, diantara merekapun ada yang bisa enjoy hidup seatap dengan penganut Syi’ah. Ada yang bisa hidup rukun di tempat kerjanya. Ada pula yang saling bergantian menghadiri kajian ta’lim, dan lain sebagainya. Sehingga diantara kaum musliminpun ada yang menyempatkan dirinya untuk mengikuti beberapa pengajian atau majelis ta’lim yang diadakan oleh kalangan Syi’ah, dengan alasan bahwa pengajian yang dihadirinya disampaikan dengan halus, lemah-lembut, mengajarkan kecintaan kepada keluarga Nabi, tidak pernah mengajarkan kebencian kepada para shahabat, mengajarkan kecintaan dan persaudaraan kepada sesama muslim, baik Ahlus Sunnah maupun Syi’ah dan lain sebagainya.

 Pada akhirnya, tak berselang lama merekapun akan bersikap antipati kepada orang-orang yang berusaha membongkar kesesatan Syi’ah dan menganggapnya sebagai biang pemecah belah umat, penentang Allah yang menginginkan umat ini bersatu, bahkan tak segan-segan mereka akan menjulukinya “wahhabi”.

Itulah salah satu bentuk tipudaya Syi’ah dalam memurtadkan kaum muslimin. Namun, untuk lebih jelasnya, saya akan menguraikan beberapa tipudaya Syi’ah yang tidak banyak diketahui oleh kaum muslimin, dengan maksud agar nantinya umat Islam di negeri ini pada khususnya tidak terjebak ke dalam tipudaya mereka yang disusun secara halus, rapi dan pasti. Mengingat bahwa perkembangan Syi’ah di negeri ini semakin menggurita, atau sebagaimana dikatakan ust. Farid Ahmad Oqbah, “Sangat mengkhawatirkan.”

Namun, ini hanyalah sebuah pengamatan pribadi. Artinya, ini hanyalah beberapa tipudaya (strategi) Syi’ah dalam memurtadkan kaum muslimin ini yang saya ketahui. Dan kemungkinan masih banyak tipudaya mereka yang saya pribadi tidak mengilmuinya. Semoga bermanfaat, semoga Allah ta’ala melindungi dan menjauhkan kita dari tipudaya setan berwujud manusia yang berusaha menghancurkan Islam dan kaum muslimin.

1. Slogan Perdamaian dan Persatuan.

Ini adalah slogan jadul, alias jaman dulu. Maksudnya slogan tersebut mereka gembar-gemborkan semenjak berkuasanya Khumaini di Iran setelah lengsernya presiden Reza Pahlevi. Akan tetapi, ternyata slogan dusta itu hingga kini masih menjadi senjata yang ampuh untuk meluluhkan hati dan membinasakan aqidah kaum muslimin di negeri ini. Buktinya, sebagian kaum muslimin pun banyak yang tertipu dengan slogan ini, sehingga tak sedikit dari mereka yang mengharapkan bersatunya Ahlus Sunnah dengan Syi’ah. Padahal bisakah Ahlus Sunnah dan Syi’ah bersatu sementara pokok-pokok ajaran keduanya sangat bertentangan jauh sejauh antara ufuk barat dengan timur? Pertanyaan yang tak butuh jawaban, artinya sangat mustahil antara keduanya itu untuk disatukan sampai kapanpun.

Lalu, apa maksud mereka menggembar-gemborkan slogan tersebut?
Banyak yang tidak mengetahui maksud tersembunyi dari slogan perdamaian dan persatuan yang digembar-gemborkan Syi’ah tersebut. Perlu diketahui, bahwa slogan tersebut hanya mereka gembar-gemborkan ketika mereka dalam kondisi minoritas sebagaimana di negeri ini. Mereka mengharapkan perdamaian agar mereka bisa leluasa menyebarkan ajaran-ajaran sesat mereka di tengah-tengah masyarakat Ahlus Sunnah tanpa adanya intimadasi dari masyarakat Ahlus Sunnah itu sendiri. Adapun maksud dari persatuan dan penyatuan di sini tidak lain adalah peleburan aqidah Ahlus Sunnah ke Syi’ah. Sebagai bukti nyata adalah kebanyakan pemeluk Syi’ah fanatik saat ini adalah mereka yang dahulunya kaum muslimin yang mendukung upaya bersatunya Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Sehingga aqidah Ahlus Sunnah yang mereka bawa sejak lahirpun akhirnya hancur tak berbekas.

Harus diketahui pula, bahwa slogan perdamaian dan persatuan ini tidak akan berlaku lagi bagi mereka ketika jumlah mereka mayoritas, sebagaimana kita lihat di Iran dan Irak. Namun, di negeri tersebut slogan itu berubah menjadi pengusiran dan pembantaian. Kaum muslimin di negeri ini harus melihat realita yang sesungguhnya yang terjadi di Iran, Iraq dan sekitarnya yang banyak didiami oleh pemeluk Syi’ah. Diantara bukti nyata yang tidak diketahui oleh kaum muslimin adalah:
  • Tidak adanya upaya pendekatan Sunni-Syi’ah di Iran yang merupakan negara Syi’ah yang memiliki kekuasaan.
  • Ahlus Sunnah tidak diijinkan mendirikan masjid Ahlus Sunnah di ibukota Teheran, bahkan di negeri tersebut masjid-masjid Ahlus Sunnah banyak yang dihancurkan karena dianggap sebagai masjid dhiror. Namun, sebaliknya mereka membiarkan sinagog-sinagog Yahudi bertebaran di mana-mana.
  • Ahlus Sunnah di Iran tidak diberi kebebasan untuk melakukan aktivitas agamanya yang bertentangan dengan Syi’ah.
  • Ahlus Sunnah tidak memperoleh hak politik yang sama dibandingkan dengan kaum Yahudi. Lihatlah undang-undang di Iran yang secara tegas menyebutkan tentang posisi kaum Yahudi di Iran di Parlemen. Dan kaum Ahlus Sunnah tidak memiliki posisi meskipun mereka adalah kaum muslimin.
  • Kalangan Syi’ah mensyaratkan bahwa yang menjadi imam adalah seorang muslim yang bermazhab Ja’fari dan syarat ini tidak boleh diubah dalam undang-undang.
  • Masyarakat Ahlus Sunnah banyak yang mendiami pinggiran-pinggiran negeri akibat banyaknya penindasan, pengusiran dan pembantaian terhadap mereka. Mereka tidak bisa leluasa menjalankan ibadahnya. Dan suatu saat, ketika mereka bisa menguasai negeri ini pun (wal iyaadzubillaah), mereka akan menerapkan hal yang sama.
2. Ajakan untuk mencintai “Ahlul Bait” Nabi.

Ajakan mencintai Ahlul Bait Nabi merupakan ajakan yang mulia, bahkan mencintai Ahlul Bait Nabi sendiri merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Namun bagi kalangan Syi’ah, ajakan mencintai Ahlul Bait ini ternyata ada misi tersendiri bagi mereka, yaitu sebagai bentuk tipudaya kepada kaum muslimin untuk “membuktikan” (baca: menipu) bahwa merekalah pecinta “Ahlul Bait” sejati. Walhasil, tidak sedikit dari kaum musliminpun tertipu dengan tipudaya mereka itu. Sehingga sering terdengar di telinga kita seorang muslim mengatakan, “Kenapa anda memusuhi para pecinta Ahlul Bait?”

Namun perlu kita cermati, bahwa Ahlul Bait yang dimaksud oleh kalangan Syi’ah bukanlah Ahlul Bait yang sebagaimana dipahami oleh kalangan Ahlus Sunnah, yang meliputi seluruh keluarga Nabi termasuk isteri-isteri beliau yang suci.  Akan tetapi, kalangan Syi’ah berkeyakinan bahwa yang termasuk Ahlul Bait Nabi hanya sebatas ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husein dan imam-imam dari keturunan Husein, tanpa memasukkan isteri-isteri Nabi, karena kebencian mereka kepada isteri-isteri Nabi khususnya ‘Aisyah (puteri Abu Bakar) dan Hafshah (puteri ‘Umar). Lalu, ajakan untuk mencintai “Ahlul Bait” (dalam tanda kutip) itu berubah menjadi ajakan untuk mengagung-agungkan dan kemudian menjadikan mereka sebagai sekutu Allah ta’ala yang memiliki kekuasaan. Wal iyaadzubillah.

3. Mengubah nama “Syi’ah” menjadi “Madzhab Ahlul Bait”.

Ternyata bukan hanya LDII yang gonta-ganti merk, Syi’ahpun ternyata meniru langkah LDII. Kalau LDII jelmaan dari Lemkari (atau nama-nama lainnya), maka Syi’ah di negeri ini pun menjelma menjadi “Madzhab Ahlul Bait”. Kalau LDII (dahulu) bergonta-ganti nama berupaya untuk melancarkan taqiyyah (pengelabuan) di tengah-tengah umat Islam[1], maka Syi’ahpun memiliki tujuan tidak jauh berbeda dengan LDII.
Sebenarnya, madzhab Ahlul Bait adalah nama samaran dari sekian banyak aliran-aliran Syi’ah. Dimana setiap aliran Syi’ah mengklaim alirannya sebagai Madzhab Ahlul Bait. Sebagai contoh, aliran Syi’ah Zaidiyah mengaku sebagai Madzhab Ahlul Bait. Begitu pula aliran Syi’ah Isma’iliyah, mereka juga mengaku sebagai Madzhab Ahlul Bait. Begitupula dengan aliran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah (Ja’fariyah) yang berkembang pesat di negeri ini pun juga mengaku sebagai Madzhab Ahlul Bait.

Adapun penyebab mereka berani menyebut alirannya sebagai Madzhab Ahlul Bait, dikarenakan saat ini kaum muslimin di seluruh dunia pada umumnya, dan di negeri ini pada khususnya sudah banyak mengetahui bahwa aliran Syi’ah adalah aliran sesat dan menyesatkan dan ajarannya sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW dan ajaran Ahlul Bait. Karena itu, dalam upayanya menipu dan menyesatkan kaum muslimin dan supaya terlihat menarik dalam pandangan kaum muslimin, mereka mengganti nama alirannya dengan Madzhab Ahlul Bait. Dan ternyata usaha mereka tersebut berhasil, sehingga ada dari umat Islam ini yang tertipu dan akhirnya terjerumus masuk Syi’ah.

Perlu diketahui, bahwa yang namanya Madzhab Ahlul Bait itu tidak ada, yang ada adalah Madzhabnya Ahlul Bait, atau akidah-nya Ahlul Bait. Yaitu akidah yang sekarang dikenal dengan nama aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Suatu aqidah yang dipegang oleh Rasulullah SAW, Ahlul Bait dan para sahabatnya yang diridhai oleh Allah ta’ala.[2]

4. Tidak pernah menyebutkan keutamaan para shahabat Rasul.

Ajaran Syi’ah didirikan di atas kebencian kepada para shahabat. Ini adalah kaidah yang baku yang tidak akan berubah hingga hari Kiamat walaupun kalangan Syi’ah berusaha menutup-nutupinya. Hal ini sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam kitab mereka “Al-Kafi” dan yang lainnya, yang diantaranya menyebutkan bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, para shahabat murtad kecuali hanya beberapa, diantaranya al-Miqdad, Abu Dzar dan Salman al-Farisi.[3]

Dari kaidah baku tersebut, kita akan mudah mendeteksi salah satu trik Syi’ah untuk memurtadkan kaum muslimin, yaitu mereka tidak pernah menyebutkan keutamaan dan jasa para shahabat Rasululullah SAW di pengajian-pengajian atau majelis ta’lim yang diikuti oleh kalangan umum, apalagi untuk “kalangan khusus”. Trik ini bertujuan untuk menghilangkan ingatan dari setiap kepala kaum muslimin akan keutamaan-keutamaan para shahabat yang telah berjuang menegakkan dien Islam ini. Kemudian secara bertahap merekapun akan melupakan keutamaan-keutamaan dan jasa para shahabat Rasul, dan akhirnya melupakannya secara total. Sehingga jika ada seorang shahabat Rasul yang  dikritik atau dimaki, merekapun akan bersikap biasa saja, bahkan tak segan-segan membela pemakinya.

 5. Mengkritik beberapa tindakan para shahabat Rasul.

Setelah kalangan Syi’ah berhasil mengiring kaum muslimin untuk melupakan keutamaan-keutamaan dan jasa para shahabat Rasulullah SAW terhadap dien Islam ini, maka tahap selanjutnya adalah mengkoreksi (baca: mengkritik) beberapa tindakan para shahabat yang dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan fatal. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan paham yang melekat pada diri kaum muslimin  selama ini bahwa para shahabat Rasul adalah generasi yang ‘adil, generasi yang mulia, dan dimuliakan oleh Allah ta’ala.

Sebut saja, misalnya shahabat Muawiyah radhiyallaahu ‘anh. Beliau adalah seorang shahabat Nabi yang selalu menancap di hati dan pikiran kalangan Syi’ah. Hal ini dikarenakan ada satu “do’a” khusus yang diucapkan oleh kalangan Syi’ah kepadanya setiap pagi dan sore yaitu melaknat Mu’awiyah. Bagi mereka, melaknat Mu’awiyah ada pahala tersendiri.

Bagi kalangan Syi’ah, Mu’awiyah menjadi simbol kesesatan, kekafiran, dan kemunafikan. Hal ini dikarenakan beliau memerangi ‘Ali dan merampas khilafah dari ‘Ali. Padahal semasa hidupnya ‘Ali, Muawiyah tidak pernah menjadi khalifah.

Berbeda dengan sikap kalangan Syi’ah yang mengaku-ngaku mencintai imam ‘Ali, ternyata imam ‘Ali malah menyikapi peperangan antara dirinya dengan Mu’awiyah dengan sangat bijak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam literatur Syi’ah sendiri, Biharul Anwar;

Dari Ibnu Tharif dan Ibnu Alwan, dari Ja’far, dari ayahnya, bahwa ‘Ali mengatakan kepada pasukannya, “Tidaklah kami memerangi mereka karena mereka kafir, juga bukan karena mereka menganggap kami kafir, tetapi karena kami merasa yang benar, dan mereka pun juga demikian.”[4]

Kebencian dan kedengkian Syi’ah terhadap shahabat Nabi yang satu ini akan selalu abadi hingga hari Kiamat. Apalagi ditambah dengan tuduhan mereka terhadap putera Mu’awiyah, Zayid yang dianggapnya sebagai pembantai Husein dan keluarganya di Padang Karbala.[5]

Berawal dari sinilah kalangan Syi’ah berusaha mengkritik beberapa “kesalahan-kesalahan” (anggapan mereka) aqidah Ahlus Sunnah yang berpihak kepada Mu’awiyah dan tidak melaknatnya. Mereka mengatakan, “Sesuatu yang bertentangan (tidak masuk akal), bagaimana mereka (Ahlus Sunnah) mencintai Ahlul Bait, sementara mereka mencintai pembencinya (Muawiyah).” Ini adalah salah satu bentuk syubhat yang mereka hembuskan di kalangan Ahlus Sunnah agar mereka ragu terhadap aqidahnya. Walhasil, sebagian dari Ahlus Sunnah yang tidak mengerti dan memahami perkara ini yang sebenarnya pun terjebak dalam syubhat mereka.

Setelah kritikan terhadap shahabat yang satu ini berhasil, merekapun kemudian melancarkan kritikan kepada shahabat Rasul yang lain, terutama didahului dengan shahabat Rasul yang paling mereka benci, yaitu ‘Umar bin al-Khaththab sang penakhluk kerajaan Persi, Abu Hurairah (yang mereka katakan pendusta hadits), ‘Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ustman bin Affan dan kemudian shahabat-shahabat yang lain. Setelah mereka kritik, kemudian mereka tak malu-malu untuk mencaci-makinya, melaknatnya, bahkan tak segan-segan mengkafirkannya. Dari sinilah  dengan mudah tujuan mereka sebenarnya akan diketahui, yaitu ingin menghancurkan Islam dari pondasinya. Karena tidaklah Islam ini sampai kepada kita hari ini, kecuali awalnya lewat perantara para shahabat Rasul yang mulia.

6. Banyak mengkaji al-Qur’an dan sedikit mengkaji hadits, bahkan meninggalkannya.

Ajaran Islam tidak hanya bersumber dari al-Qur’an saja, akan tetapi juga bersumber dari Sunnah Rasulullah SAW. As-Sunnah adalah penjelas dari al-Qur’an itu sendiri, sehingga al-Qur’an tidak akan sempurna jika tidak dilengkapi dengan as-Sunnah.  Berapa banyak orang berpegang kepada al-Qur’an saja pada akhirnya dirinya terjerembab ke dalam jurang kesesatan yang sangat dalam. Pada akhirnya, dirinya tidak mengetahui mana ajaran Nabi dan mana ajaran Syaithani. Sehingga, ajaran Nabipun mereka jadikan olok-olokan dan penghidup ajaran Nabi mereka jadikan sasaran kebencian.

Adalah Syi’ah salah satu kelompok yang berusaha menjauhkan kaum muslimin dari hadits-hadits Nabi SAW. Selain bermaksud untuk menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Islam yang murni dibawa oleh Rasulullah SAW, hal ini juga didasari oleh rasa kebencian mereka terhadap para periwayat hadits dari kalangan para shahabat Nabi SAW (sebagaimana dijelaskan di atas).

Di majelis-majelis pengajian yang dihadiri masyarakat umum, mereka hanya mengkaji al-Qur’an dan ditafsirkan sesuai dengan selera nafsu mereka. Adapun hadits, mereka lebih banyak meninggalkannya. Seandainya mengkaji haditspun, mereka akan memilih-milih hadits-hadits tertentu termasuk hadits yang dha’if bahkan maudhu’ (palsu) yang bisa mendukung dan memperkokoh madzhab busuk mereka. Diantaranya adalah hadits-hadits tentang imam Ali dan keutamaannya, “Ahlul Bait” dan keutamaannya, kepemimpinan para “imam” dan lain-lain.

Bukti yang nampak yang sering kita dengar dari mulut-mulut Syi’ah yang penuh dosa adalah kebiasaan mereka mencaci-maki habis orang-orang yang berusaha menghidupkan sunnah Nabi. Orang-orang yang memanjangkan jenggot dan berpakaian di atas mata kaki dikatakan sebagai “wahhabi” dan yang semisalnya. Walhasil, perilaku orang-orang Syi’ah inipun didukung dan diikuti oleh orang-orang awwam yang tak paham sunnah (ajaran) Nabi. Walaupun kalangan Syi’ah tak mampu memurtadkan sebagian kaum muslimin, tapi dukungan dari kalangan awwam untuk mencela penghidup sunnah Nabi ini merupakan sebuah “kemenangan” bagi kalangan Syi’ah.

7. Mengkoreksi beberapa hadits dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab yang berisi kumpulan hadits-hadits shahih. Bahkan kaum muslimin telah sepakat bahwa kitab Shahih al-Bukhari merupakan kitab terbaik setelah al-Qur’an yang di dalamnya tidak terdapat hadits dha’if.

Akan tetapi, ternyata kalangan Syi’ah berusaha menghembuskan keraguan di hati kaum muslimin akan keshahihan beberapa hadits yang ada dalam kedua kitab shahih tersebut. Dalam kajian-kajiannya, para da’i Syi’ah terkadang akan membahas hadits-hadits dalam kedua kitab tersebut, akan tetapi dalam membahas hadits di dalamnya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan (sebagaimana dijelaskan di atas) mencari-cari dalil yang mendukung madzhab Syi’ah atau untuk mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lain, atau kalau tidak mereka berusaha mengkoreksi (mencari kesalahan) beberapa hadist dalam kedua kitab tersebut. Adapun tujuannya sangat jelas, yaitu untuk menanamkan keraguan dan merusak aqidah  kalangan Ahlus Sunnah.

 8. Menyebut kelompok yang menyelisihi mereka dengan “Wahhabi”.

Di negeri ini, bahkan hampir di seluruh negeri kaum muslimin ada fenomena “timpang” dan penilaian “miring” terhadap dakwah tauhid yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab an-Najdi rahimahullaah. Oleh sekelompok orang yang menyimpan perasaan dengki (hasad) kepada beliau, terlebih tidak adanya kesepahaman aqidah, maka dakwah tauhid yang beliau dakwahkan kepada masyarakat ketika itu dianggapnya sebagai pemicu perpecahan umat. Sehingga, julukan “wahhabi” pun akhirnya mereka munculkan. Namun, ternyata tak banyak yang tahu siapa yang pertama kali memunculkan julukan ini dan apa tujuan sebenarnya dimunculkannya istilah “wahhabi” ini.

Kebanyakan kaum awwam tahunya, “wahhabi” ini adalah pengikut fanatik Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab, yang ingin menghancurkan tradisi-tradisi yang berjalan di masyarakat selama ini. Menolak acara maulidan, melarang ziarah kubur, mengharamkan tawassul dan lain sebagainya.

Padahal, istilah “wahhabi” ini dimunculkan oleh mereka yang lebih mempercayai penghuni kubur daripada Allah ta’ala (para penyembah kubur), dan mereka yang sangat menolak dakwah tauhid (pengesaan kepada Allah), dan diantara mereka adalah kalangan Syi’ah Rafidhah. Adapun tujuannya sebenarnya dimunculkannya istilah “wahhabi” ini tak lain adalah untuk menjauhkan kaum muslimin dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Buktinya, sebagian dari mereka berceloteh bahwa salah satu ciri “wahhabi” adalah berjenggot dan celana cingkrang. Padahal kita ketahui bahwa hal itu adalah salah satu sunnah (ajaran) Rasulullah SAW.

Lebih jauh lagi, kalangan Syi’ah berusaha mendefinisikan “wahhabi” ini dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu siapa saja yang menyelisihi ajaran Syi’ah, atau yang berusaha memisahkan antara Sunni dengan Syi’ah, atau siapa saja yang menolak kehadiran Syi’ah, maka mereka adalah kaum “wahhabi”.

Padahal, harus kita ketahui bahwa sebenarnya sebutan “wahhabi” itu ditujukan oleh kalangan Syi’ah kepada kaum muslimin itu sendiri. Karena dalam keyakinan mereka bahwa orang-orang yang tidak meyakini imam mereka yang 12, alias tidak beraqidah Syi’ah, maka telah kafir. Dan dalam do’a dua patung Quraisy, mereka melaknat Abu Bakar dan ‘Umar serta siapa saja yang mencintai keduanya.[6] Bukankah kita sebagai kaum muslimin mencinta dua shahabat Nabi tersebut? Maka, RENUNGKANLAH !!!

 9. Gembar-gembor anti Israel dan Amerika, serta dukungannya terhadap kaum muslimin Palestina.

Diantara tipudaya yang ditempuh oleh penggiat Syi’ah adalah dengan memanfaatkan sandiwara yang berjudul: Iran “bermusuhan” dengan Israel dan Amerika”. Isu ini sangat efektif untuk menarik simpati umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Selama ini kita sering mendengar tentang keberanian presiden Iran Ahmadinejad dalam “melawan” Amerika Serikat lewat pidato-pidatonya yang berapi-api, atau seruannya untuk menghapus Israel dari peta. Atau Hasan “Nasrullah” lewat ceramah-ceramahnya yang lantang dalam “menantang” Israel. Akhirnya, sebagian besar kaum musliminpun terpukau dengan ocehan-ocehan keduanya. Sehingga dukungan pun mengalir dari kaum muslimin untuk negara Syi’ah Iran dan milisi “Hizbullah” Lebanon pimpinan Hasan “Nasrullah” tersebut. Berbagai pujian pun ditumpahkan untuk keduanya, baik di forum-forum pertemuan, di media massa, baik elektronil atau cetak. Diantara kaum muslimin pun ada yang beranggapan bahwa saat ini Iranlah satu-satunya negara “Islam” yang selalu membela kepentingan umat Islam, tidak ada negara-negara Islam yang berani melawan kebiadaban Amerika dan Israel, kecuali negara “Islam” Iran dan milisi “Hizbullah”. Tidak ada negara-negara Islam yang berkembang ipteknya dan berani mengembangkan nuklir, kecuali Iran. Tidak tahunya, ternyata selama ini mereka dikibulin oleh para pendusta Rafidhah.

Beberapa bukti yang menunjukkan kedustaan mereka, bahwa mereka selama ini anti Amerika dan Yahudi (dalam hal ini termasuk Zionis):

- Laporan yang dikeluarkan oleh situs Sat Age (yang mengkhususkan diri dalam pemantauan terhadap pergerakan satelit di seluruh dunia dan saluran televisi) menyatakan bahwa enam saluran televisi keagamaan Iran berasal dari dalam Israel. Surat kabar al-Ahram Mesir menyebut keenam saluran itu, yaitu: Alul-Bayt, Al-Anwar, Fadak, Hussain, Al-Alamiyah, Al-Ghadie, berada di bawah program AMOS Israel, melalui perusahaan RR Sat Israel.[7]

- Ditemukan lambang Zionis Yahudi (Bintang Daud) di atas gedung bandara Iran dan di banyak tempat lain  di Iran.

Menurut penelitian, bahwa komunitas Yahudi terbesar setelah di Israel berada di Iran, tepatnya di kota Ashfahan.[8] Hal ini tidak banyak diketahui oleh orang, terlebih kaum muslimin. Bahkan mereka memiliki parlemen di Iran dan lebih nyaman untuk tinggal di negara tersebut. Rasulullah SAW telah memberikan kabar kepada kita, bahwa kelak Dajjal akan bertolak dari kota ini dengan kawalan 70.000 tentara Yahudi yang mengenakan thayalis (jubah hijau tak berjahit) untuk melawan Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihi salam beserta kaum muslimin.[9]

- Tersebar foto dan video di You Tube berkaitan dengan pertemuan Ahmadinejad atau tokoh-tokoh Syi’ah Iran dengan orang-orang Yahudi. ( http://www.youtube.com/watch?v=MU4fQklCm1g)

- Ditemukan slogan-slogan/tulisan yang dipamerkan bahwa Iran punya hubungan “mesra” dengan Israel.

-  Pernahkan kita mendengar Iran meluncurkan senjata nuklirnya ke Amerika atau Israel?
- Presiden yang pertama kali yang melakukan kunjungan ke Iraq dalam rangka menyambut kemenangan Amerika dalam menumbangkan rezim Saddam Husein adalah Ahmadinejad.
- Sandiwara “permusuhan” Iran dan Yahudi mulai terbongkar ketika pesawat kargo Argentina yang membawa persenjataan dari Yahudi ke Iran tersesat, sehingga masuk ke wilayah Rusia dan akhirnya di tembak jatuh oleh pasukan pertahanan Rusia.[10]

-Dan lain-lain.


Adapun mengenai pembelaan mereka kepada kaum muslimin Palestina, maka ini juga merupakan sebuah kedustaan mereka yang kesekian kalinya. Mereka telah menjual Palestina demi melancarkan misi mereka. Karena kenyataan yang terjadi, bukanlah pembelaan dari Iran ataupun “tetangga” yang terdekat, milisi “Hizbullah” Lebanon yang diperoleh kaum muslimin Palestina, akan tetapi sebaliknya, pembantaian yang berkepanjangan sampai saat ini. Hingga seorang Palestina berujar, “Siksaan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah lebih kejam dari pada apa yang dilakukan oleh tentara Israel kepada kami. Mereka menyiksa kami dari pagi sampai sore.”[11] Karena sangat mustahil, bagi kalangan yang memendam kebencian kepada para shahabat Nabi akan membela dan menolong  para pecinta shahabat Nabi. Dan perlu diketahui, bahwa mayoritas penduduk Palestina adalah Ahlus Sunnah yang sangat mencintai para shahabat Nabi.[12]

 10. Undangan “Study Banding” Para Tokoh Agama ke Iran.

Siapa yang menolak kalau diundang jalan-jalan ke luar negeri? Buat kebanyakan orang-orang di negeri kita, jalan-jalan ke luar negeri memang sudah menjadi demam tersendiri, tidak terkecuali para anggota DPR bahkan presiden negeri ini.

Ternyata, sifat kampungan (baca: ndeso) dan seneng jalan-jalan itu dimanfaatkan oleh kalangan Syi’ah untuk memberikan tiket jalan-jalan gratis ke pusat-pusat pengajaran Syi’ah di Iran, seperti di kota Qom. Sudah tidak terhitung tokoh Islam di negeri ini yang diundang untuk berkunjung ke Iran, tentunya judulnya bukan dalam rangka cuci otak, akan tetapi atas nama studi banding dan sejenisnya.

Akhirnya, kebanyakan tokoh yang pernah diundang ke sana, begitu kembali ke tanah airnya akan berbicara penuh dengan pengagungannya kepada Iran dan pembelaannya kepada Syi’ah, bahkan tidak segan-segan akan mengatakan bahwa perbedaan Sunni-Syi’ah bukan perbedaan yang prinsipil.

Tanpa malu-malu, mereka telah menjilat Iran. Padahal, negeri itu adalah pembantai ulama-ulama Ahlus Sunnah, bahkan penghancur masjid-masjid dan kitab-kitab rujukan Ahlus Sunnah.

 11. Memberikan sembako, layanan pendidikan dan kesehatan gratis, dan semisalnya.

“Syi’ah memakai cara-cara misionaris dalam propaganda ajarannya.” Demikian kata Ustadz Fahmi Salim, wakil Sekjen MIUMI sebagaimana dikutip oleh arrahmah.com.

Memang benar, mereka akan menggunakan berbagai cara untuk memuluskan penyebaran ajaran mereka di tengah-tengah masyarakat Ahlus Sunnah, bahkan (sebagaimana dijelaskan), cara-cara misionarispun mereka akan mempergunakannya. Diantaranya; pemberian sembako secara “cuma-cuma”, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis kepada  kaum muslimin.

Mereka akan memberikan sembako secara “cuma-cuma” kepada kaum muslimin yang mereka pandang tingkat ekonominya rendah. Pemberian dengan “cuma-cuma” itu akan dibarengi dengan ajakan untuk mengikuti ajaran mereka. “Perlahan tapi pasti”, itu prinsip mereka.

Di samping itu, mereka juga mengadakan mengadakan balai pengobatan gratis. Pengobatan gratis di sini pun tak lepas dari misi mereka, yaitu untuk menggaet pengikut sebanyak-banyaknya.
Bahkan kabar yang sampai ke telinga saya, di Bandung ada salah satu pabrik yang pemimpinnya memaksa para pekerjanya untuk masuk ke Syi’ah. Jika tidak, maka pekerja tersebut akan dikeluarkan atau tidak akan diberi gaji.

Selain itu ada pemberian layanan pendidikan gratis setiap tahun, alias bea siswa bagi pemuda-pemudi di negeri ini, untuk disekolahkan di universitas dalam negeri atau di luar negeri. Layanan pendidikan gratis ke luar negeri itu biasanya ke Iran terutama di kota Qom. Dan sangat disayangkan bahwa sebagian besar dari pemuda-pemudi yang dikirim ke Iran itu berasal dari kalangan NU. Sebagimana hal ini dikuatkan oleh situs NU sendiri, melalui www.nu.or.id, dengan judul: Rencana Pengiriman Mahasiswa NU ke Iran akan Diteruskan.[13]

Sebagaimana dikabarkan pula, bahwa setiap tahun Syi’ah memiliki target  untuk mengirimkan ratusan pemuda-pemudi kaum muslimin di negeri ini untuk di sekolahkan di Iran. Pada tahun 2007 saja diperkirakan jumlah pemuda Indonesia yang mengambil study gratis di Iran tidak kurang dari 7.000an. Bagaimana dengan saat ini?

Tak banyak yang tahu, apa misi dibalik pengiriman-pengiriman pelajar Indonesia ke Iran atau pertukaran pelajar antara Indonesia dengan Iran.

Misi mereka tidak lain untuk menjadikan para pelajar tersebut menjadi penganut Syi’ah yang fanatik plus menjadi da’i yang siap mendakwahkan ajaran-ajaran Syi’ah di negeri ini.

Ketua umum PBNU, Said Agil Siradj pernah membantah akan hal ini, seba
 gaimana dikutip di www.nu.or.id, ia mengatakan, “Sudah banyak bukti para kader NU yang sekolah di Arab Saudi juga tak menjadi “wahhabi”. Saya 13 tahun di Arab Saudi, demikian juga KH. Said Aqil al-Munawwar. Namun demikian hal tersebut tak menjadikan kami menjadi “wahhabi”.” Ia menegaskan lagi, “Mereka yang pindah ideology, dari awal ketika di Indonesia memang sudah memiliki kecenderungan pada ideology tersebut.”

Ibarat menutupi bangkai gajah, Said Agil, tokoh yang kesyi’ah-syi’ahan ini berusaha menutup-nutupi segala bukti yang sudah dilihat jelas oleh kaum muslimin di negeri ini, bahwa mayoritas, bahkan semua lulusan Iran yang kembali ke negeri ini beraqidah Syi’ah Imamiyah Khumainiyah.[14]

 12. Menikahi wanita muslimah.


Sebagaimana kalangan Nashrani dan orang-orang kafir lainnya, kalangan Syi’ahpun mengadopsi strategi orang-orang kafir itu dalam usaha memurtadkan kaum muslimin, yaitu diantaranya menikahi wanita-wanita muslimah.

Melalui strategi ini, kalangan Syi’ah “sukses” melumpuhkan keyakinan (aqidah) wanita-wanita muslimah. Kita saksikan, korban telah banyak berjatuhan. Sebagian besar muslimah lebih memilih seseorang yang dicintainya daripada aqidahnya, sehingga banyak diantara mereka yang rela menjual aqidahnya dengan cuma-cuma.

Salah satu alasan Syi’ah menargetkan kaum wanita, karena mereka mengetahui bahwa wanitalah yang paling banyak memiliki pengaruh, terutama bagi anak-anak mereka.

Sebagaimana fatwa MUI yang mengharamkan pernikahan muslimah dengan laki-laki kafir, maka pernikahan muslimah dengan kalangan Syi’ah pun hukumnya sama, yaitu HARAM. Hal ini ditegaskan oleh Imam al-Bukhari -rahimahullaah- , beliau pernah berkata, “Bagi saya sama saja, apakah aku shalat dibelakang Imam yang beraliran JAHM atau (Syi’ah) Rafidhah atau aku shalat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan seorang Muslim tidak boleh memberi salam pada mereka, dan tidak boleh mengunjungi mereka ketika sakit juga TIDAK BOLEH MENIKAH DENGAN MEREKA dan tidak menjadikan mereka sebagai saksi, begitu pula tidak makan hewan yang disembelih oleh mereka.”[15]

Lebih tegas lagi, Allah ta’ala menjelaskan melalui firman-Nya yang artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah : 221)

Demikian beberapa tipudaya/trik Syi’ah dalam memurtadkan kaum muslimin yang bisa saya uraikan sesuai dengan kapasitas keilmuan dan wawasan yang saya miliki. Semoga diantara saudara-saudaraku Ahlus Sunnah ada yang bisa memberikan tambahan sebagai pelengkap dari apa yang saya tulis, sehingga tipudaya yang mereka lancarkan semakin gamlang dan diketahui oleh kaum muslimin, di negeri ini pada khususnya dan di seluruh pelosok negeri pada umumnya.

Semoga Allah ta’ala melindungi kita, keluarga kita, dan saudara-saudara seiman dari makar dan tipudaya Iblis berwujud manusia yang berusaha menghancurkan dienul Islam dan pemeluknya ini.

Terakhir, agar kita tidak melupakan do’a yang diajarkan oleh Allah –ta’ala- dan Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau. karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. ‘Ali Imran : 8)
“Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami yang benar sebagai suatu kebenaran (yang nyata), dan berikanlah rezeki kepada kami untuk mengikuti kebenaran tersebut. Dan perlihatkanlah kepada kami sesuatu yang bathil sebagai suatu kebathilan (yang nyata), dan berikanlah rezeki kepada kami untuk menjauhinya.”
Wallaahu ta’ala a’lam bish shawwab.

[1] Lihat: Bahaya Islam Jamaah, hal. 15, penerbit LPPI.
[2] Albayyinat.net
[3] Disebutkan dalam kitab “al-Kafi” karya al-Kulaini, dari Ja’far, ia berkata:
(( كان الناس أهل ردة بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ثلاثة، فقلت: من الثلاثة؟فقال: المقداد بن الأسود،وأبو ذر الغفاري،وسلمان الفارسي))
“Semua manusia (shahabat) dalam kondisi murtad setelah wafatnya Nabi SAW, kecuali tiga orang saja.  Aku bertanya: ‘siapa mereka?’ Dijawab, ‘al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.”
[4] Bihar al-Anwar, jilid. 32, hal. 321-330, bab: Hukum memerangi Amirul Mukminin ‘Ali. Riwayat ini   diriwayatkan juga oleh Himyari dari kitab: Qurbul Isnad, hal. 45.
[5] Adapun sikap Ahlus Sunnah terhadap Yazid, maka mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Jika ia adalah seorang yang fasiq atau dhalim, maka kemungkinan besar Allah masih mengampuninya, terlebih jika dirinya memiliki kebaikan-kebaikan yang besar. Bahkan diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, dari Ummu Harran binti Malhan RA, bahwa Nabi SAW bersabda, yang artinya, “Tentara pertama yang memerangi Konstantinopel akan diampuni.” (HR. al-Bukhari). Dan tentara pertama yang memerangi Konstantinopel adalah di bawah kepemimpinan Yazid bin Muawwiyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari RA bersamanya. (Lihat: Majmu’ al-Fatawa, III/410-414)
[6] Do’a dua patung Quraisy diantaranya berbunyi: “Ya Allah, laknatilah mereka berdua beserta pengikutnya, wali-walinya, golongannya dan kekasihnya yang telah merusak rumah kenabian (maksudnya Ali bin Abi Thalib)… “ selengkapnya lihat: http://jaser-leonheart.blogspot.com/2012/12/doa-shonamay-quraisy-doa-agung-hamba.html
[7] syiahindonesia.com
[8] http://islamquest.net/id/archive/question/fa4960. Lihat juga video: Kenapa Yahudi Suka Tinggal di Ishfahan? (http://www.youtube.com/watch?v=aem8bpF_5Oo)
[9] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Anas bin Malik RA, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya, “Dajjal akan diikuti oleh orang-orang Yahudi Ashfahan sebanyak 70.000 orang yang mengenakan thayalish (jubah tak berjahit).”
[10] Al-Harbul Musytarakah Iran wa Israil, hal. 35.
[11] Untuk mengetahui tentang kejahatan kaum Syi’ah terhadap kaum muslimin di Palestina, silakan baca   buku: Filisthiniyul ‘Iraq baina asy-Syatat wal Maut
[12] Lihat video: Peran Syi’ah dalam Tragedi Palestina.
[14] Silakan cari di Google berkaitan data-data Syi’ah di Indonesia.
[15] Kholqul Af’al al-’Ibad, hal. 125