عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « الْحَلاَلُ بَيِّنٌ
وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ
لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى
حَوْلَ الْحِمَى ، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ . أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ
مَلِكٍ حِمًى ، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِى أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ ،
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ
الْقَلْبُ
Al-Nu’man bin Basyir berkata, ‘Aku mendengar Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, tetapi ada di antara
keduanya perkara-perkara yang samar (syubhat) yang kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara
yang syubhat itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan
barangsiapa yang melakukan perkara syubhat itu maka ia telah terjatuh
dalam perkara yang haram, seperti penggembala di sekeliling tanah
larangan (milik orang lain), yang lambat laun ia akan masuk juga ke
dalamnya. Ingatlah, setiap raja itu memiliki larangan. Ingatlah bahwa
larangan Allåh adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah, bahwa dalam
jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah keseluruhan
jasadnya, dan jika ia rusak maka rusak pula keseluruhan jasadnya.
Segumpal daging itu adalah hati.”
Bab Akhdzul Halal wa Tarkusy Syubuhat (XI/22-Syarah al-Nawawi).
Takhrij Ringkas Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 52) dalam Shahih-nya di Kitab al-Iman Bab Fadhlu Man Istabra’a li Dinihi (I/153-Fathul Bari) dan Imam Muslim (hadits no. 1599) dalam Shahih-nya di Kitab al-Musaqat al-Anshari al-Khazraji, Abu Abdillah.
Biografi Periwayat Hadits
Al-Nu’man
bin Basyir lengkapnya bernama Al-Nu’man bin Basyir bin Sa’ad bin
Tsa’labah bin Julas. Dia dan bapaknya termasuk jajaran sahabat
Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam. Bapaknya, Basyir,
termasuk yang ikut serta dalam perang Badar dan Uhud. Dia terbunuh di
negeri Syam di daerah ‘Ain Tamar’ pada akhir masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Ibunya bernama Amrah binti Rawahah saudara perempuan Abdullah bin Rawahah.
Al-Nu’man bin Basyir adalah anak pertama yang terlahir dari kaum Anshar di Madinah semenjak Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam
hijrah ke Madinah. Dia dan Abdullah bin al-Zubair lahir pada tahun ke-2
Hijriyyah; Al-Nu’man lebih tua 6 bulan dari Ibnu al-Zubair, tepatnya di
awal bulan ke empat belas setelah hijrah, tiga atau empat bulan sebelum
perang Badar.
Dia meriwayatkan hadits dari Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam langsung, dari pamannya Abdullah bin Rawahah, dari Umar dan dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha. Beliau dikenal sebagai seorang yang pemurah, dermawan dan penyair. (Masyahir Ulama Al-Amshar dan Ats-Tsiqat karya Muhammad bin Hibban Abu Hatim al-Busti; Al-Ishabah, Tahdzibut Tahdzib dan Taqribut Tahdzib karya Ibnu Hajar; Al-Isti’ab karya Ibnu Abdul Barr; At-Ta’dil wat Tajrih karya Abul Walid al-Baji; dan Tahdzibul Asma’ karya an-Nawawi)
Kedudukan Hadits
Hadits
ini merupakan salah satu hadits yang memuat pokok-pokok ajaran Islam
sebagaimana dikatakan oleh para ulama seperti Imam Ahmad, Ishaq bin
Rahuyah dan Abu Dawud. (Jami’ul Ulum wal Hikam I/23-25)
Kedudukan hadits ini sangatlah penting. Hal itu menurut ulama disebabkan karena dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
memperingatkan agar kita memperhatikan kebaikan dari apa-apa yang
dimakan, diminum, dipakai dan lainnya; dan juga agar meninggalkan
perkara yang samar atau meragukan, sehingga agama dan harga diri kita
bisa terjaga. Dalam hadits ini Rasulullah juga menjelaskan tentang
perkara yang amat penting yaitu menjaga kondisi hati. (Lihat Syarh Shahih Muslim XI/23)
Halal dan Haram itu Jelas
Maksudnya
menurut Ibnu Rajab adalah bahwa halal yang murni kehalalannya itu jelas
dan tidak ada kesamaran padanya; demikian juga haram yang murni
keharamannya. (Jami’ul Ulum wal Hikam I/181)
Ibnu
Hajar menyebutkan bahwa maksud jelas di sini adalah dalam sisi dzat dan
sifatnya berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan terang. (Fathul Bari I/154)
Contoh
halal yang murni seperti memakan makanan yang halal lagi baik yang
berupa tanaman, buah-buahan, hewan ternak atau yang lain; memakai
pakaian yang dibutuhkan baik yang terbuat dari kapas, lena, wol atau
yang lain; nikah dengan akad yang sah; dan lain-lain.
Contoh
haram yang murni seperti memakan bangkai atau babi, meminum khamer
(miras), memakai sutera bagi kaum laki-laki, menikahi mahram, berzina,
mencuri, judi, riba dan lain-lain. (Jami’ul Ulum wal Hikam I/181, Qawaid wa Fawaid hal. 82)
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
meninggalkan umatnya setelah menjelaskan kepada mereka apa-apa yang
telah Allåh halalkan dan apaapa yang telah Allåh haramkan. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
telah kutinggalkan kalian berada di atas cahaya terang-benderang, yang
malamnya seperti siangnya; seorang yang menyimpang darinya pasti akan
celaka.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad IV/126, Ibnu Majah dalam Al-Sunan no. 43, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak I/175, Ibnu Abi Ashim dalam Al-Sunnah no. 33, 47, & 48 dan Al-Mundziri dalam Al-Targhib wat Tarhib no. 93. Lihat Al-Silsilah al-Shahihah II/610, no. 937)
Tentang
kejelasan perkara-perkara halal/haram yang murni ini
bertingkat-tingkat; ada yang diketahui oleh setiap muslim, seperti
perkara-perkara penting dan asasi dalam agama yang mau tidak mau setiap
muslim harus mengetahuinya, ada yang tidak diketahui oleh kebanyakan
kaum muslimin yang awam kecuali oleh para pembawa syari’at (mereka yang
berlajar hukum agama); dan ada pula yang tidak diketahui kecuali oleh
para ulama yang mendalam ilmunya. (Qawaid wa Fawaid hal. 82)
Perkara-perkara yang Samar
Al-Nawawi
berkata, “Perkara syubhat maknanya adalah bahwa ia tidak jelas
kehalalan maupun keharamannya. Oleh karena itu perkara-perkara seperti
ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang dan otomatis tidak pula
mengetahui hukumnya. Adapun para ulama, mereka mengetahui hukumnya
dengan nas, qiyas, istis-hab atau yang lainnya. Apabila ada sesuatu yang
diragukan kehalalan atau keharamannya, sementara tidak ada nas atau
ijma’ tentang masalah tersebut, maka seorang mujtahid akan berijtihad
menetapkan hukum perkara tersebut dengan dalil syar’i kepada salah satu
dari keduanya (halal atau haram).” (Syarh Shahih Muslim XI/23)
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa para ulama menafsirkan perkara syubhat dengan empat makna:
1.
Pertentangan antar dalil-dalil (yakni menurut lahirnya), seperti dalam
sebagian permasalahan ibadah, muamalah dan lainnya. (Inilah yang dipilih
oleh Ibnu Hajar).
2. Perbedaan pendapat di antara para ulama. Ini masuk dalam penafsiran yang pertama.
3.
Apa yang disebut sebagai makruh, karena adanya tarik menarik dari dua
sisi antara mengerjakan dan meninggalkan. (Namun Ibnu Hajar memandang
bahwa penafsiran ini bersifat kemungkinan, apalagi bagi yang setingkat
para ulama. Dan hal ini menguatkan penafsiran pertama).
4.
Mubah, tapi orang yang mengatakan seperti ini tidak bisa mengartikan
makna mubah dalam artian dua perkara yang sepadan dalam segala sisinya,
tapi bisa diartikan dengan sesuatu yang termasuk dalam bab khilaful aula
(yang menyelisihi sesuatu yang lebih utama).
Penafsiran yang dipilih oleh Ibnu Hajar itulah yang paling kuat, wallåhu a’lam. (Lihat Fathul Bari I/155 dan Qåwaid Fawaid 83-84)
Hukum Perkara yang Syubhat
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkara-perkara yang syubhat; ada
yang mengatakan haram (yakni ditolak), ada yang mengatakan makruh, dan
ada yang mengatakan
tawaqquf (tidak berkomentar). (Fathul Bari I/155)
Al-Nawawi
mengatakan bahwa yang benar adalah tidak dihukumi halal, haram, mubah
maupun yang lainnya, karena hukum taklif (pembebanan syari’at) itu tidak
bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i. (Syarh Shahih Muslim XI/23)
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa yang mendekati kebenaran hukum perkara syubhat
dalah
makruh, karena dalam hadits disebutkan bahwa syubhat ini bisa
mengantarkan kepada yang haram, sementara yang mendekati haram adalah
makruh, apabila seseorang berlebihan dalam perkara makruh maka bisa
menjatuhkannya ke dalam yang haram. (Lihat Fathul Bari I/155)
Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mengisyaratkan bahwa meninggalkan syubhat merupakan sifat wara’
(hati-hati) yang termasuk di antara bagian iman. Oleh karena itu Imam
Bukhari memasukkan hadits ini dalam ‘Kitab al-Iman’ untuk menunjukkan
bahwa sifat wara’ itu di antara yang menyempurnakan iman. wallåhu a’lam.
(Lihat Qawaid wa Fawaid 86)
Menjauhi Apa yang Diharamkan oleh Allåh
Yang diharamkan oleh Allåh adalah kemaksiatan, baik melanggar perkara haram maupun meninggalkan kewajiban. (Lihat Fathul Bari I/156)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
menyatakan bahwa apa-apa yang Allåh haramkan itu adalah
batasan-batasan-Nya yang tidak boleh dilanggar, sebagaimana dalam firman
Allåh Ta’ala, “Itulah larangan Allåh, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allåh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Al-Baqarah: 187)
Dalam ayat lain Allåh Ta’ala juga menyatakan, “Itulah
hukum-hukum Allåh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allåh mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 229)
Hal
ini sebagai peringatan bagi yang menjatuhkan diri dalam perkara
syubhat, bahwa mereka akan terseret ke dalam perkara yang haram. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam I/194-195)
Kaitannya dengan Hati
Di akhir hadits ini, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mengisyaratkan bahwa baiknya gerak-gerik anggota badan seorang hamba
baik dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan maupun mencegah diri
dari melakukan perkara syubhat, semua itu bergantung kepada baiknya
kondisi hati. Jika hatinya bersih, tidak ada di dalamnya kecuali rasa
cinta kepada Allåh, kepada perkara-perkara yang dicintai Allåh, takut
kepada Allåh dan apa-apa yang dibenci Allåh, niscaya gerak-gerik badan
semuanya akan baik, akan selalu menjauhi perkara-perkara yang haram, dan
mencegah diri dari perkara syubhat karena khawatir terjatuh dalam
perkara yang haram.
Namun
jika hatinya rusak, ia akan dikendalikan oleh hawa nafsu dan senantiasa
menuruti apa yang diinginkan hawa nafsunya meskipun dibenci oleh Allåh,
maka rusaklah gerak-gerik seluruh anggota badannya, sehingga akan
terdorong untuk melakukan segala kemaksiatan dan berani melakukan
perkara-perkara syubhat. Itu semua karena mengikuti dorongan hawa nafsu.
Karena demikian besarnya pengaruh hati maka hati bisa diumpamakan
sebagai raja dan anggota-anggota badan yang lain diumpamakan sebagai
balatentaranya. Jika raja tersebut baik maka balatentaranya pun akan
baik; sebaliknya jika raja tersebut jelek maka akan jelek pulalah
balatentaranya. Dan begitulah, Allåh hanya akan menerima orang-orang
yang datang menghadap-Nya dengan hati yang bersih, mencitai Allåh dan
perkara-perkara yang dicintai-
Nya, takut kepada Allåh dan apa-apa yang dibenci-Nya. Allåh Ta’ala berfirman, “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak lakilaki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allåh dengan hati yang bersih,” (Al-Syu’ara: 88-89). (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam I/197-198)
Islam
sangat memperhatikan masalah perbaikan hati, karena ia merupakan alat
bagi manusia untuk bisa memahami segala urusannya. Allåh Ta’ala berfirman,
“Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami.” (Al-Hajj: 46)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.” (Qaf: 37). (Lihat Fathul Bari I/156)
Ayat-ayat ini juga menunjukkan bahwa akal itu terletak di hati, wallåhu a’lam.
Beberapa Faidah
1. Seorang muslim hendaknya menjauhi perkara yang haram dan hendaknya membentengi antara dirinya dengannya.
2. Seorang muslim hendaknya menjaga harga dirinya dari hal yang dapat merusak dan mendatangkan cela.
3. Dalil adanya kaidah saddudz dzarai’ (menutup jalan) yang bisa mengantarkan kepada yang haram dan diharamkannya segala perantara yang menuju kepadanya.
4.
Yang menggembalakan hewan ternaknya di dekat tanah atau tanaman milik
orang lain, harus mengganti bila ada yang dirusak oleh hewan-hewan
ternaknya, dan diqiyaskan kepadanya hal-hal yang serupa.
5.
Agungnya kedudukan hati, dan tersirat adanya perintah atau anjuran
untuk memperbaiki kondisi hati, karena ia adalah pemimpin bagi anggota
badan lainnya. Baik buruknya anggota badan bergantung kepada baik
buruknya hati. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).
Wallåhu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar