Rabu, 08 Januari 2014

HALAL DAN HARAM SUDAH JELAS

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى ، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ . أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِى أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ ، أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Al-Nu’man bin Basyir berkata, ‘Aku mendengar Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, tetapi ada di antara keduanya perkara-perkara yang samar (syubhat) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara yang syubhat itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang melakukan perkara syubhat itu maka ia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala di sekeliling tanah larangan (milik orang lain), yang lambat laun ia akan masuk juga ke dalamnya. Ingatlah, setiap raja itu memiliki larangan. Ingatlah bahwa larangan Allåh adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah, bahwa dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah keseluruhan jasadnya, dan jika ia rusak maka rusak pula keseluruhan jasadnya. Segumpal daging itu adalah hati.”
Bab Akhdzul Halal wa Tarkusy Syubuhat (XI/22-Syarah al-Nawawi).

Takhrij Ringkas Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 52) dalam Shahih-nya di Kitab al-Iman Bab Fadhlu Man Istabra’a li Dinihi (I/153-Fathul Bari) dan Imam Muslim (hadits no. 1599) dalam Shahih-nya di Kitab al-Musaqat al-Anshari al-Khazraji, Abu Abdillah.

Biografi Periwayat Hadits

Al-Nu’man bin Basyir lengkapnya bernama Al-Nu’man bin Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah bin Julas. Dia dan bapaknya termasuk jajaran sahabat Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam. Bapaknya, Basyir, termasuk yang ikut serta dalam perang Badar dan Uhud. Dia terbunuh di negeri Syam di daerah ‘Ain Tamar’ pada akhir masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Ibunya bernama Amrah binti Rawahah saudara perempuan Abdullah bin Rawahah.
Al-Nu’man bin Basyir adalah anak pertama yang terlahir dari kaum Anshar di Madinah semenjak Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dia dan Abdullah bin al-Zubair lahir pada tahun ke-2 Hijriyyah; Al-Nu’man lebih tua 6 bulan dari Ibnu al-Zubair, tepatnya di awal bulan ke empat belas setelah hijrah, tiga atau empat bulan sebelum perang Badar.
Dia meriwayatkan hadits dari Råsulullåh shallallahu ’alaihi wa sallam langsung, dari pamannya Abdullah bin Rawahah, dari Umar dan dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha. Beliau dikenal sebagai seorang yang pemurah, dermawan dan penyair. (Masyahir Ulama Al-Amshar dan Ats-Tsiqat karya Muhammad bin Hibban Abu Hatim al-Busti; Al-Ishabah, Tahdzibut Tahdzib dan Taqribut Tahdzib karya Ibnu Hajar; Al-Isti’ab karya Ibnu Abdul Barr; At-Ta’dil wat Tajrih karya Abul Walid al-Baji; dan Tahdzibul Asma’ karya an-Nawawi)
Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang memuat pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana dikatakan oleh para ulama seperti Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah dan Abu Dawud. (Jami’ul Ulum wal Hikam I/23-25)

Kedudukan hadits ini sangatlah penting. Hal itu menurut ulama disebabkan karena dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memperingatkan agar kita memperhatikan kebaikan dari apa-apa yang dimakan, diminum, dipakai dan lainnya; dan juga agar meninggalkan perkara yang samar atau meragukan, sehingga agama dan harga diri kita bisa terjaga. Dalam hadits ini Rasulullah juga menjelaskan tentang perkara yang amat penting yaitu menjaga kondisi hati. (Lihat Syarh Shahih Muslim XI/23)

Halal dan Haram itu Jelas

Maksudnya menurut Ibnu Rajab adalah bahwa halal yang murni kehalalannya itu jelas dan tidak ada kesamaran padanya; demikian juga haram yang murni keharamannya. (Jami’ul Ulum wal Hikam I/181)
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa maksud jelas di sini adalah dalam sisi dzat dan sifatnya berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan terang. (Fathul Bari I/154)
Contoh halal yang murni seperti memakan makanan yang halal lagi baik yang berupa tanaman, buah-buahan, hewan ternak atau yang lain; memakai pakaian yang dibutuhkan baik yang terbuat dari kapas, lena, wol atau yang lain; nikah dengan akad yang sah; dan lain-lain.
Contoh haram yang murni seperti memakan bangkai atau babi, meminum khamer (miras), memakai sutera bagi kaum laki-laki, menikahi mahram, berzina, mencuri, judi, riba dan lain-lain. (Jami’ul Ulum wal Hikam I/181, Qawaid wa Fawaid hal. 82)
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam meninggalkan umatnya setelah menjelaskan kepada mereka apa-apa yang telah Allåh halalkan dan apaapa yang telah Allåh haramkan. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, Sungguh telah kutinggalkan kalian berada di atas cahaya terang-benderang, yang malamnya seperti siangnya; seorang yang menyimpang darinya pasti akan celaka.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad IV/126, Ibnu Majah dalam Al-Sunan no. 43, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak I/175, Ibnu Abi Ashim dalam Al-Sunnah no. 33, 47, & 48 dan Al-Mundziri dalam Al-Targhib wat Tarhib no. 93. Lihat Al-Silsilah al-Shahihah II/610, no. 937)
Tentang kejelasan perkara-perkara halal/haram yang murni ini bertingkat-tingkat; ada yang diketahui oleh setiap muslim, seperti perkara-perkara penting dan asasi dalam agama yang mau tidak mau setiap muslim harus mengetahuinya, ada yang tidak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin yang awam kecuali oleh para pembawa syari’at (mereka yang berlajar hukum agama); dan ada pula yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama yang mendalam ilmunya. (Qawaid wa Fawaid hal. 82)

Perkara-perkara yang Samar

Al-Nawawi berkata, “Perkara syubhat maknanya adalah bahwa ia tidak jelas kehalalan maupun keharamannya. Oleh karena itu perkara-perkara seperti ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang dan otomatis tidak pula mengetahui hukumnya. Adapun para ulama, mereka mengetahui hukumnya dengan nas, qiyas, istis-hab atau yang lainnya. Apabila ada sesuatu yang diragukan kehalalan atau keharamannya, sementara tidak ada nas atau ijma’ tentang masalah tersebut, maka seorang mujtahid akan berijtihad menetapkan hukum perkara tersebut dengan dalil syar’i kepada salah satu dari keduanya (halal atau haram).” (Syarh Shahih Muslim XI/23)
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa para ulama menafsirkan perkara syubhat dengan empat makna:
1. Pertentangan antar dalil-dalil (yakni menurut lahirnya), seperti dalam sebagian permasalahan ibadah, muamalah dan lainnya. (Inilah yang dipilih oleh Ibnu Hajar).
2. Perbedaan pendapat di antara para ulama. Ini masuk dalam penafsiran yang pertama.
3. Apa yang disebut sebagai makruh, karena adanya tarik menarik dari dua sisi antara mengerjakan dan meninggalkan. (Namun Ibnu Hajar memandang bahwa penafsiran ini bersifat kemungkinan, apalagi bagi yang setingkat para ulama. Dan hal ini menguatkan penafsiran pertama).
4. Mubah, tapi orang yang mengatakan seperti ini tidak bisa mengartikan makna mubah dalam artian dua perkara yang sepadan dalam segala sisinya, tapi bisa diartikan dengan sesuatu yang termasuk dalam bab khilaful aula (yang menyelisihi sesuatu yang lebih utama).
Penafsiran yang dipilih oleh Ibnu Hajar itulah yang paling kuat, wallåhu a’lam. (Lihat Fathul Bari I/155 dan Qåwaid Fawaid 83-84)

Hukum Perkara yang Syubhat

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkara-perkara yang syubhat; ada yang mengatakan haram (yakni ditolak), ada yang mengatakan makruh, dan ada yang mengatakan
tawaqquf (tidak berkomentar). (Fathul Bari I/155)
Al-Nawawi mengatakan bahwa yang benar adalah tidak dihukumi halal, haram, mubah maupun yang lainnya, karena hukum taklif (pembebanan syari’at) itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i. (Syarh Shahih Muslim XI/23)
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa yang mendekati kebenaran hukum perkara syubhat
dalah makruh, karena dalam hadits disebutkan bahwa syubhat ini bisa mengantarkan kepada yang haram, sementara yang mendekati haram adalah makruh, apabila seseorang berlebihan dalam perkara makruh maka bisa menjatuhkannya ke dalam yang haram. (Lihat Fathul Bari I/155)
Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa meninggalkan syubhat merupakan sifat wara’ (hati-hati) yang termasuk di antara bagian iman. Oleh karena itu Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam ‘Kitab al-Iman’ untuk menunjukkan bahwa sifat wara’ itu di antara yang menyempurnakan iman. wallåhu a’lam. (Lihat Qawaid wa Fawaid 86)
Menjauhi Apa yang Diharamkan oleh Allåh
Yang diharamkan oleh Allåh adalah kemaksiatan, baik melanggar perkara haram maupun meninggalkan kewajiban. (Lihat Fathul Bari I/156)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan bahwa apa-apa yang Allåh haramkan itu adalah batasan-batasan-Nya yang tidak boleh dilanggar, sebagaimana dalam firman Allåh Ta’ala, Itulah larangan Allåh, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allåh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah: 187)
Dalam ayat lain Allåh Ta’ala juga menyatakan, Itulah hukum-hukum Allåh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allåh mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 229)
Hal ini sebagai peringatan bagi yang menjatuhkan diri dalam perkara syubhat, bahwa mereka akan terseret ke dalam perkara yang haram. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam I/194-195)

Kaitannya dengan Hati

Di akhir hadits ini, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa baiknya gerak-gerik anggota badan seorang hamba baik dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan maupun mencegah diri dari melakukan perkara syubhat, semua itu bergantung kepada baiknya kondisi hati. Jika hatinya bersih, tidak ada di dalamnya kecuali rasa cinta kepada Allåh, kepada perkara-perkara yang dicintai Allåh, takut kepada Allåh dan apa-apa yang dibenci Allåh, niscaya gerak-gerik badan semuanya akan baik, akan selalu menjauhi perkara-perkara yang haram, dan mencegah diri dari perkara syubhat karena khawatir terjatuh dalam perkara yang haram.
Namun jika hatinya rusak, ia akan dikendalikan oleh hawa nafsu dan senantiasa menuruti apa yang diinginkan hawa nafsunya meskipun dibenci oleh Allåh, maka rusaklah gerak-gerik seluruh anggota badannya, sehingga akan terdorong untuk melakukan segala kemaksiatan dan berani melakukan perkara-perkara syubhat. Itu semua karena mengikuti dorongan hawa nafsu. Karena demikian besarnya pengaruh hati maka hati bisa diumpamakan sebagai raja dan anggota-anggota badan yang lain diumpamakan sebagai balatentaranya. Jika raja tersebut baik maka balatentaranya pun akan baik; sebaliknya jika raja tersebut jelek maka akan jelek pulalah balatentaranya. Dan begitulah, Allåh hanya akan menerima orang-orang yang datang menghadap-Nya dengan hati yang bersih, mencitai Allåh dan perkara-perkara yang dicintai-
Nya, takut kepada Allåh dan apa-apa yang dibenci-Nya. Allåh Ta’ala berfirman, (Yaitu) di hari harta dan anak-anak lakilaki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allåh dengan hati yang bersih,” (Al-Syu’ara: 88-89). (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam I/197-198)
Islam sangat memperhatikan masalah perbaikan hati, karena ia merupakan alat bagi manusia untuk bisa memahami segala urusannya. Allåh Ta’ala berfirman,
Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami.” (Al-Hajj: 46)
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.” (Qaf: 37). (Lihat Fathul Bari I/156)
Ayat-ayat ini juga menunjukkan bahwa akal itu terletak di hati, wallåhu a’lam.

Beberapa Faidah

1. Seorang muslim hendaknya menjauhi perkara yang haram dan hendaknya membentengi antara dirinya dengannya.
2. Seorang muslim hendaknya menjaga harga dirinya dari hal yang dapat merusak dan mendatangkan cela.
3. Dalil adanya kaidah saddudz dzarai’ (menutup jalan) yang bisa mengantarkan kepada yang haram dan diharamkannya segala perantara yang menuju kepadanya.
4. Yang menggembalakan hewan ternaknya di dekat tanah atau tanaman milik orang lain, harus mengganti bila ada yang dirusak oleh hewan-hewan ternaknya, dan diqiyaskan kepadanya hal-hal yang serupa.
5. Agungnya kedudukan hati, dan tersirat adanya perintah atau anjuran untuk memperbaiki kondisi hati, karena ia adalah pemimpin bagi anggota badan lainnya. Baik buruknya anggota badan bergantung kepada baik buruknya hati. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).
 Wallåhu a’lam.

Tidak ada komentar: