Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersama pasukan muslimin mulai mendekati kota Madinah. Beberapa
penduduk kota berlarian menyambut beliau, begitu pula wanita dan
anak-anak yang hendak menyambut beliau, suami dan ayah-ayah mereka.
Anak-anak itu dengan gembira mendendangkan nyanyian:
Telah muncul purnama kepada kami dari Tsaniyatil Wada’…
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki masjid dan shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.
Setelah itu, mulailah berduyun-duyun
orang-orang yang tertinggal menemui beliau mengajukan uzur tidak ikut
serta dalam perang Tabuk. Sebagian dari mereka diterima oleh beliau dan
urusan batinnya diserahkan kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Di antara sahabat, ada beberapa orang yang sengaja mengikat tubuh mereka di tiang-tiang masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mereka dan bertanya, “Siapa yang mengikat dirinya di tiang ini?”
Sahabat lain menjawab, “Itu Abu Lubabah
dan teman-temannya, karena mereka tidak ikut perang bersama Anda, wahai
Rasulullah. Mereka ingin Anda sendiri yang melepaskan mereka.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, “Demi Allah, saya tidak akan melepaskan dan tidak pula
menerima uzur mereka, sampai Allah sendiri yang melepaskan mereka.
Mereka tidak suka ikut bersamaku, dan tidak mau berperang bersama kaum
muslimin.”
Ketika sampai perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada sahabat-sahabat tersebut, mereka berkata, “Kami pun tidak akan
melepaskan diri kami hingga Allah sendiri yang melepaskan kami.”
Kemudian turunlah firman Allah Subhanahuwata’ala:
وَآخَرُونَ
اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا
عَسَى اللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang
mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102)
Setelah ayat ini turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menemui mereka, melepaskan tali yang membelit mereka dan menerima uzur mereka. Tak lama, mereka datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sambil membawa harta mereka dan berkata, “Wahai Rasulullah, inilah
harta kami. Bersedekahlah dengan harta ini dan mintakanlah ampunan untuk
kami.”
Beliau menjawab, “Saya tidak diperintah mengambil harta kalian.” Lalu turun ayat:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Kemudian, datang pula tiga orang sahabat
yang mulia; Ka’b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin
Ar-Rabi’,. Mereka tidak ikut mengikat diri mereka bersama Abu Lubabah
dan teman-temannya. Mereka merasa tidak punya alasan yang memberatkan
hingga tertinggal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka hanya menyampaikan bahwa mereka tidak ikut serta. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyerahkan urusan mereka kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Kejadian ini, sepenuhnya kita serahkan kepada penuturan sahabat yang mulia Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut ini.
Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peperangan yang beliau lakukan kecuali perang Tabuk. Walaupun saya pernah tertinggal dari perang Badr, tapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mencela saya dan siapapun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, hingga akhirnya
Allah Subhanahuwata’ala mempertemukan beliau dengan musuh-musuhnya tanpa
kesepakatan sebelumnya.
Sungguh, saya telah ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pada malam ‘Aqabah ketika kami sangat yakin kepada Islam. Saya tidak
suka malam itu digantikan dengan peristiwa Badr, meskipun Badr lebih
dikenang orang daripada malam itu.
Saya belum pernah merasa lebih kuat sama
sekali dan lebih mudah daripada keadaan saya ketika tertinggal dari
beliau dalam perang (Tabuk) tersebut. Demi Allah, saya belum pernah
mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali
perang Tabuk. Biasanya, bila hendak berangkat berperang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan tauriyah (berbuat atau mengatakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian, red.) dengan hal-hal yang lain.
Setelah melakukan persiapan, walaupun
serba minim, karena pada waktu itu adalah musim panas yang sangat buruk,
kendaraan dan perbekalan serba kurang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat juga. Beliau menampakkan dan memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan perlengkapan perang mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyampaikan terang-terangan ke mana arah yang beliau tuju dan lawan
yang akan dihadapi, sehingga banyak yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, tidak ada penulis yang mencatat–semacam sensus–dengan pasti.
Kata Ka’b selanjutnya, “Ada yang ingin
mengelak dan mengira pasti akan dapat bersembunyi dari beliau selama
tidak turun wahyu Allah tentang dia.”
Tak lama, ketika buah-buahan mulai masak, naungan mulai rimbun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pun berangkat diikuti oleh kaum muslimin. Saya datang pagi-pagi untuk
bersiap-siap bersama mereka, lalu pulang tetapi tidak melakukan apa-apa.
Saya berkata dalam hati, “Saya dapat segera menyiapkannya.”
Pagi harinya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum muslimin sudah mulai bergerak. Tetapi, saya masih belum
mempersiapkan diri sedikitpun. Saya berkata dalam hati, “Saya akan
mempersiapkan diri sesudah satu atau dua hari ini lalu menyusul mereka.”
Saya pun datang pagi-pagi, lalu kembali lagi sesudah mereka berangkat. Saya pulang dan belum juga berbuat apa-apa.
Saya datang dan pergi lagi tanpa
melakukan sesuatu. Hal ini berlangsung terus-menerus sampai pasukan
semakin jauh dari kota. Saya mulai bertekad menyusul mereka.
Duhai, kiranya saya memang melakukannya,
namun belum juga ditakdirkan untuk saya. Suatu hari, saya keluar di
antara orang banyak sesudah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan pasukan muslimin berangkat. Saya pun berkeliling. Sungguh
menyedihkanku, ternyata saya tidak melihat siapa-siapa kecuali
orang-orang yang tertuduh munafik, atau orang-orang lemah yang diberi
uzur oleh Allah Subhanahuwata’ala
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak menyebut-nyebut nama saya sampai beliau tiba di Tabuk. Setelah
berada di Tabuk, mulailah beliau bertanya ketika duduk-duduk di antara
pasukan, “Apa yang dikerjakan Ka’b?”
Salah seorang dari Bani Salimah berkata,
“Wahai Rasulullah, dia ditahan oleh dua burdahnya dan melihat betapa
bagusnya burdah itu.”
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu
menukas, “Alangkah buruknya ucapanmu. Demi Allah, wahai Rasulullah.
Kami tidak mengetahui tentang dia kecuali yang baik-baik saja.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun diam.
Kemudian, Ka’b bin Malik melanjutkan, “Ketika sampai berita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncullah keinginanku
mencari-cari tipuan. Saya berkata dalam hati, ‘Dengan apa kira-kira saya
dapat lolos dari kemarahan beliau nanti?’ Saya pun meminta saran dari
semua keluargaku.
Tatkala diberitakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sudah mulai kembali, hilanglah kebatilan (kebohongan). Saya pun tahu,
tidak akan mungkin lolos dengan sedikit kebohongan saja dari beliau
selamanya. Akhirnya, saya mengumpulkan sikap jujur kepada beliau.
Esok harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan pasukan pun sampai di Madinah. Penduduk berduyun-duyun menyambut
beliau. Biasanya, kalau baru tiba dari safar beliau selalu singgah lebih
dahulu di masjid dan shalat dua rakaat, kemudian duduk menghadapi orang
banyak yang datang mengajukan uzur dan meminta maaf atas ketertinggalan
mereka. Setelah itu, datanglah orang-orang yang tertinggal itu dan
mulailah mereka mengajukan alasan serta bersumpah. Jumlah mereka sekitar
80 orang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menerima
alasan mereka, membai’at, dan memintakan ampunan buat mereka serta
menyerahkan rahasia mereka kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Saya datang menemui beliau dan
mengucapkan salam. Beliau tersenyum masam kepada saya seraya berkata,
“Kemarilah!” Saya pun melangkah sampai duduk di hadapan beliau, lalu
beliau berkata, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau sudah
membeli kendaraan?”
Kata saya, “Betul. Sungguh, demi Allah,
wahai Rasulullah. Seandainya aku duduk dengan orang lain di dunia ini,
pastilah Anda melihat saya akan lolos dari kemarahannya dengan satu
alasan. Sungguh, demi Allah, saya diberi kemampuan berdebat. Tetapi demi
Allah, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu
kebohongan, lalu Anda meridhai saya, pastilah Allah Subhanahuwata’ala
akan membuat Anda marah kepada saya. Sungguh, seandainya saya berbicara
kepada Anda dengan jujur, niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya
betul-betul berharap pemaafan Allah Subhanahuwata’ala dalam masalah ini.
Tidak. Demi Allah, saya tidak punya uzur
sama sekali. Saya tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah sama
sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Adapun dia ini, sudah berbuat jujur. Berdirilah sampai Allah Subhanahuwata’ala memberi keputusan tentangmu.”
Saya pun berdiri, dan berdatanganlah
orang-orang Bani Salimah menyusul sambil mengatakan, “Demi Allah, kami
tidak pernah lihat engkau berbuat kesalahan sebelum ini, engkau sungguh
lemah. Mengapa engkau tidak meminta uzur kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana orang-orang yang tertinggal meminta uzur kepada beliau? Sudah cukup dosamu itu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memintakan ampun untukmu.”
Demi Allah, mereka terus-menerus
mendorong saya sampai saya berkeinginan rujuk dan mendustakan diri
sendiri. Kemudian saya katakan kepada mereka, “Apakah ada orang yang
mengalami keadaan seperti ini bersama saya?”
Kata mereka, “Ya, ada dua orang. Mereka
mengucapkan hal yang sama seperti engkau dan dikatakan kepada mereka
seperti yang diucapkan kepadamu.”
Saya pun bertanya, “Siapa mereka?”
Kata mereka, “Murarah bin Ar-Rabi’
Al-‘Amri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi.” Mereka menyebutkan dua orang
saleh yang pernah ikut perang Badr. Ini adalah teladan bagiku. Saya pun
tetap melanjutkan sikap saya setelah mereka menyebut dua orang saleh
ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mulai melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara
orang-orang yang tertinggal. Akhirnya, orang banyak mulai menjauhi kami.
Keadaan pun berubah, sampai saya merasa diri saya asing di bumi ini
(Madinah). Seolah-olah tanah (Madinah) ini bukan seperti yang saya
kenal. Dan kami merasakannya selama 50 hari.
Kedua sahabatku merasa hina dan hanya
terduduk di rumah mereka sambil menangis. Sedangkan aku yang lebih muda
dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin,
berkeliling di pasar-pasar dalam keadaan tidak seorang pun mengajakku
bicara. Saya mencoba mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan salam kepada beliau ketika beliau duduk di majelisnya seusai shalat.
Saya bertanya dalam hati, “Apakah beliau
menjawab salamku atau tidak?” Saya berusaha shalat di dekat beliau
sambil mencuri-curi pandang. Kalau saya menekuni shalat saya, beliau
menghadap ke arahku. Tapi kalau saya menoleh ke arah beliau, beliau
melengos.
Sampai ketika saya merasakan kekakuan
orang banyak ini semakin lama, saya berjalan lalu memanjat pagar rumah
Abu Qatadah. Dia adalah anak paman saya dan orang yang paling saya
cintai. Saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah, dia tidak
menjawab salam saya.
Saya pun berkata, “Wahai Abu Qatadah,
saya sumpahi engkau demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa saya
mencintai Allah l dan Rasul-Nya?” Dia tetap diam. Saya ulang
menyumpahinya, tapi dia diam. Saya pun mengulangi lagi.
Akhirnya, Abu Qatadah berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Air mata saya mulai berlinang. Saya pun mundur dan turun dari pagar itu.”
Abu Qatadah tidak mengatakan ya atau
tidak. Sepatah kata tidaklah dianggap bicara. Bagaimana Ka’b tidak
menangis, saudara sepupu yang sangat dicintainya, tidak menjawab salam
dan pertanyaannya, padahal dia sudah menuntutnya dengan sumpah, yang
jelas-jelas sebagai perkara ibadah. Di samping itu, pertanyaan Ka’b
dengan sumpah itu sama artinya menuntut sebuah persaksian. Akan tetapi,
Abu Qadatah tidak mau bersaksi walaupun dia mengetahui Ka’b mencintai
Allah l dan Rasul-Nya.
Suatu hari, tatkala saya sedang berjalan di sebuah pasar kota Madinah, tiba-tiba seorang nabthi???
dari penduduk Syam yang biasa membawa makanan untuk dijual di Madinah
bertanya, “Siapa yang bisa menunjukkan saya kepada Ka’b bin Malik?”
Orang banyak serentak menunjuk ke arah saya. Akhirnya dia menemui saya dan menyerahkan sepucuk surat dari Raja Ghassan.
Ternyata isinya, “Amma ba’du,…
Sebetulnya sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad )
mengucilkanmu. Allah tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina
dan tersia-sia. Datanglah kepada kami, niscaya kami memuliakanmu.”
Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu
adalah orang yang beriman kepada Allah Ta’al dan Rasul-Nya serta
mencintai Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil,
terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat
dicintai, kalau saja beliau orang yang lemah iman, tentu dengan segera
menyambut tawaran itu.
Setelah membacanya saya pun berkata, “Ini juga musibah,” lalu saya menyalakan tungku dan membakarnya.
Demikianlah seharusnya yang dilakukan
oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah: menghancurkan
sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya.
Empat puluh malam mulai merambat. Tak lama, datang utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menemui saya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.”
Saya bertanya, “Apakah saya harus
menceraikannya atau apa yang saya lakukan?” Katanya, “Tidak. Engkau
hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.” Seperti itu
juga yang disampaikan kepada dua sahabat saya itu.
Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allah memutuskan perkara ini.”
Kata Ka’b, “Datanglah istri Hilal bin Umayyah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang
laki-laki renta dan tidak punya pelayan. Apakah Anda tidak suka kalau
saya melayaninya?” Kata beliau, “Tidak, tapi dia tidak boleh
mendekatimu.”
Wanita itu berkata, “Sungguh, demi
Allah, dia tidak ada keinginan lain kepada sesuatu. Demi Allah, dia
terus menangis sejak awal kejadian ini sampai hari ini.”
Sebagian keluarga saya berkata, “Sebaiknya engkau minta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang istrimu sebagaimana diizinkan untuk istri Hilal bin Umayyah agar dia melayanimu.”
Saya pun berkata, “Demi Allah, saya tidak akan minta izin untuknya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa kira-kira yang akan saya katakan, seandainya saya minta izin kepada Rasulullah n, padahal saya seorang pemuda?”
Akhirnya, tinggallah saya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, sampai genap lima puluh hari sejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami semua.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allah Ta’ala dalam setiap urusan besar, sehingga kaum muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.
Seusai shalat shubuh di hari terakhir
(kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas loteng rumah, persis
seperti diterangkan Allah l, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!”
Saya pun menyungkur sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memberitahukan adanya taubat dari Allah Subhanahuwa’ala atas kami
ketika shalat shubuh. Kaum muslimin berduyun-duyun memberi ucapan
selamat kepada saya dan dua sahabat itu. Ada seseorang datang dengan
berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki
gunung. Sedangkan suara lebih cepat dari kuda. Setelah pemilik suara itu
datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu
sebagai hadiah atas berita gembira tersebut. Padahal, demi Allah, saya
tidak punya baju lain selainnya pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam
sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata
mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allah.” Hal itu
berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.
Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah
berlari kecil menyambut dan menyalami saya sambil mengucapkan selamat.
Demi Allah, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya
tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah.
Demikianlah keadaan mereka, yaitu
orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk
dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allah
Subhanahuwata’ala limpahkan kepada saudara mereka, yaitu turunnya wahyu
yang agung menerangkan bahwa taubat mereka diterima. Bahkan, mereka
mengucapkan selamat sampai Ka’b masuk ke dalam masjid.
Kata Ka’b, “Setelah saya mengucapkan
salam kepada Rasulullah n, beliau berkata dengan wajah berseri-seri,
‘Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak
engkau dilahirkan ibumu’.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
benar, karena Allah l telah menurunkan taubatnya dan taubat kedua
temannya dalam Al-Qur’an yang dibaca. Rabb semesta alam yang
mengucapkannya dan menurunkannya kepada Muhammad, terpelihara dengan
perantaraan Jibril dan terjaga sampai hari kiamat.
Tidak seorang pun selain para nabi, atau
orang-orang yang disebut oleh Allah Subhanahuwata’ala dalam Al-Qur’an
yang kisahnya terpelihara seperti kisah Ka’b dan dua sahabatnya. Kisah
ini abadi dan senantiasa dibaca dalam Kitab Allah Subhanahuwa’ala, di mihrab-mihrab???,
di mimbar-mimbar, dan di mana pun. Siapa yang membaca kisah ini, dia
memperoleh sepuluh kebaikan dari setiap huruf Al-Qur’an yang dibacanya.
Ka’b melanjutkan, “Wahai Rasulullah, apakah ini dari engkau atau dari sisi Allah Subhanahuwata’ala?”
Kata beliau, “Dari sisi Allah.” Dan kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.
Setelah duduk di hadapan beliau, saya
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya
menyerahkan harta saya untuk sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tahanlah sebagian hartamu, tentu itu lebih baik.”
Kata saya, “Sesungguhnya, saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”
Kemudian saya berkata lagi, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan saya tidak lain karena
kejujuran. Termasuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali
yang benar selama saya masih hidup.”
Demi Allah, saya tidak melihat ada
seorang muslim yang Allah Subhanahuwata’ala beri ujian dalam hal
kejujuran—sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam—yang lebih baik daripada yang diberikan kepada saya.
Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allah Subhanahuwata’ala memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.
Tak lama, Allah Subhanahuwata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَّقَد
تَّابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ
الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِن بَعْدِ مَا كَادَ
يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ
بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ () وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا
حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ
عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا
إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ
التَّوَّابُ الرَّحِيمُ () يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menerima
taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang
mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka
hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas
dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka
telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117—119)
Demi Allah, tidak pernah Allah
Subhanahuwata’ala memberi nikmat kepadaku yang lebih besar bagi diri
saya—sesudah memberi saya hidayah kepada Islam—daripada kejujuran kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam; saya tidak akan
berdusta kepada beliau, yang akibatnya saya binasa sebagaimana binasa
mereka yang berdusta. Sungguh Allah Subhanahuwata’ala berfirman tentang
orang-orang yang berdusta itu, karena menurunkan wahyu lebih buruk
daripada kepada yang lain.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
سَيَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ
فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ إِنَّهُمْ رِجْسٌ ۖ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ () يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا
عَنْهُمْ ۖ فَإِن تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ
الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu
dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu
berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena
sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai
balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan
bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya
kamu ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada
orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95—95)
Dan kefasikan adalah sebab tidak diperolehnya keridhaan Allah.
Kata Ka’b, “Dahulu kami bertiga ditunda dari mereka yang diterima oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membai’at serta memintakan ampunan untuk mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunda persoalan kami sampai Allah memutuskannya. Itulah firman Allah Subhanahuwata’la:
وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka….”
Maknanya bukan tertinggal dari peperangan, tapi ketertinggalan kami dan
penundaan beliau terhadap urusan kami dari mereka yang telah bersumpah
kepada beliau dan mengajukan alasan lalu beliau terima.”
Beberapa faedah
- Seorang muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan diapun menjadi golongan orang-orang yang mujaharah (terang-terangan berbuat dosa).
- Seorang mukmin merasakan kepedihan ketika menelantarkan sebuah kewajiban.
- Seorang mukmin tidak akan mengejek saudaranya, tetapi membelanya, seperti yang dilakukan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu terhadap Ka’b radhiyallahu ‘anhu.
- Memutuskan hubungan adalah obat yang ampuh untuk mengembalikan orang-orang yang menyimpang kepada kebenaran. Larangan yang ada berlaku dalam urusan dunia, atau melampiaskan kejengkelan.
- Mukmin yang sempurna tidak akan menjual agamanya, walaupun diberi dunia dan seisinya.
- Sujud syukur ketika memperoleh kelapangan, seperti yang dilakukan Ka’b.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar