Jumat, 12 Desember 2014

Kekeliruan Khowarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah Dalam Masalah Iman



Ahlus Sunnah sepakat bahwasannya iman itu adalah pembenaran dalam hati, pengikraran dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan. Namun ada beberapa aliran yang menyelisihi hakekat iman tersebut, sehingga mereka terperosok ke dalam lembah kesesatan ‘aqidah. Di antaranya khowarij, mu’tazilah, dan murji’ah. Sebagian mereka berkata ;

“Sesungguhnya iman itu adalah sesuatu yang satu, dan tidak dapat terbagi-bagi. Iman adalah melakukan segala perbuatan yang di perintahkan, dan meninggalkan yang di larang. Iman itu tidak bertambah, dan tidak pula berkurang. Dan sesungguhnya dosa besar itu tidak bisa bercampur dengan keimanan, bahkan dosa besar itu menghilangkan keimanan (karena tidak bisa bercampur). Maka jika sebagian keimanan itu hilang karena melakukan dosa besar, berarti hilanglah keimanan itu seluruhnya (karena iman itu satu, jika rusak sedikit, maka rusaklah semuanya). Barang siapa yang melakukan dosa besar, maka hilanglah seluruh keimanannya, dan darah serta hartanya menjadi halal.”

Jadi menurut mereka, keimanan itu tidak akan bisa disandingkan dengan dosa besar. Akibatnya, seseorang yang melakukan dosa besar tidak lagi dianggap sebagai orang yang memiliki keimanan, dikarenakan dosa tersebut meniadakan keimanan.

Kedudukan pelaku dosa besar menurut Khowarij dan Mu’tazilah :

Khowarij mengatakan : “Seseorang yang berdosa besar menjadi kafir di dunia dan di akhirat. Di dunia dia tidak boleh mewarisi dan diwarisi warisan, tidak dimandikan (ketika meninggal), tidak disholatkan, tidak dikafani, serta tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Sedangkan di akhirat dia kekal di neraka.”

Mu’tazilah mengatakan : “Sesungguhnya seseorang yang melakukan dosa besar tidaklah kami namakan sebagai seorang mu’min, tidak pula kafir, akan tetapi kedudukannya di antara dua hal tersebut (mu’min dan kafir). Dia telah keluar dari keimanan, akan tetapi tidak sampai masuk ke dalam kekufuran.”. Adapun di dunia, dia dihukumi sebagai seorang muslim yang harta dan darahnya terlindungi, dia mewarisi dan diwarisi, disholatkan ketika meninggal dunia, serta dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Sedangkan di akhirat dia dihukumi sebagai orang yang akan kekal di neraka, namun ‘adzabnya tidaklah sama dengan ‘adzab orang-orang kafir. Ini disebabkan salah satu ‘aqidah sesat mereka yaitu ;“kewajiban untuk menunaikan ancaman” bagi Alloh. Artinya, barang siapa yang melakukan dosa besar, maka wajib bagi Alloh untuk memasukkannya ke dalam neraka, dan pelaku dosa besar itu kekal di neraka. Ini dikarenakan mereka menolak hadits-hadits shohih tentang syafa’at dari Rosululloh r yang terdapat dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim ataupun yang lainnya.

Kesesatan Murji’ah :

Murji’ah adalah ahlut tafrith (kelompok yang cenderung meremehkan). Mereka bermacam-macam, akan tetapi yang menyamakan mereka adalah aqidah ; “mengeluarkan amalan dari istilah keimanan (amal bukanlah sebagian dari iman)”. Kelompok Murji’ah yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah kelompok “Murji’ah murni”, yang mengatakan ; “Kemaksiatan itu tidaklah berpengaruh selama masih terdapat keimanan, sebagaimana ketaatan seseorang itu tidaklah bermanfaat selama di dirinya masih terdapat kekufuran”. Mereka memaknakan keimanan itu hanyalah sebatas pengakuan di dalam hati, meskipun tidak mengatakan keimanan tersebut dengan lisannya. Maka, pelaku dosa besar menurut mereka tetap dihukumi sebagai seorang mu’min dengan keimanan yang sempurna dan perbuatan dosa besar tersebut tidak berpengaruh  sama sekali terhadap keimanannya.

Bahaya Dari ‘Aqidah Tiga Kelompok di Atas (Khowarij, Mu’tazilah dan Murji’ah)

Aqidah kelompok Khowarij adalah ‘aqidah yang berlebihan (ifroth). Akibatnya  seseorang yang ber’aqidah sebagaimana ‘aqidahnya Khowarij akan mudah menghukumi orang lain dengan hukum “kafir”. Padahal kita ketahui bersama bahwa apabila gelar “kafir” tersebut melekat pada seseorang maka dia akan kehilangan hak sebagai seorang muslim, di antarannya adalah hak waris, hak bertetangga, hak mendapatkan jaminan keamanan, dan hak-hak yang lainnya. Selain itu yang paling berbahaya adalah harta dan darahnya menjadi halal. Akibat lain yang nyata adalah terjadinya banyak pertumpahan darah dikarenakan ‘aqidah Khowarij yang  menyimpang ini.

Adapun ‘aqidah Murji’ah yang cenderung meremehkan akan membuat seseorang bermudah-mudahan atau meremehkan dalam perkara dosa besar. Ini di sebabkan mereka menganggap orang yang melakukan dosa besar masih tetap memiliki keimanan yang sempurna. Sedangkan ‘aqidah Mu’tazilah cenderung Ifroth dan di sisi lain mereka juga menolak hadits-hadits tentang syafa’at. Ketiga-tiganya merupakan ‘aqidah yang sesat dan menyesatkan yang keluar dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sikap yang Benar dalam Menghadapi Masalah ini

Pandangan yang benar terhadap perkara ini adalah sebagaimana yang di utarakan oleh Ahlus Sunnah, yang merupakan sikap pertengahan dari sikap Khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Meskipun Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat dengan Khowarij dan Mu’tazilah dalam masalah pengertian iman. Mereka mengatakan iman itu adalah ; I’tiqod (keyakinan) dalam hati, dan diucapkan dengan perkataan, juga diamalkan dengan anggota badan, akan tetapi Ahlus Sunnah menambahkan bahwasannya iman itu bertingkat-tingkat, bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

 Inilah yang membedakan antara ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah sebagaimana yang di kemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

“Dasar perkataan ‘aqidah Ahlus Sunnah yang di selisihi oleh Khowarij, Jahmiyah, Mu’tazilah dan Murji’ah bahwasannya keimanan itu bertingkat-tingkat dan terbagi-bagi sebagaimana sabda Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam ;

“Keluarkanlah dari neraka orang yang di dalam hatinya masih terdapat keimanan (meskipun hanya) sebesar “dzarroh” .”(HR Bukhori)

Maka Ahlus Sunnah mengatakan :

“Sesungguhnya keimanan itu adalah perkataan dan perbuatan. Ia bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Dan sebagaimana yang telah di yakini oleh para Salaful Ummah (umat terdahulu) wa A’immatuha (para imamnya) bahwasanya keimanan yang berada di dalam hati itu bertingkat-tingkat sebagaimana yang di sabdakan Nabi  .”

Adapun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat diantaranya adalah firman Alloh Ta’ala :

 “,.maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Surat Al-Imron, ayat 173)

demikian juga :

 “,..supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Surat Al-Fath, ayat 4)

Kedua ayat diatas menunjukkan bahwa keimanan itu bertambah atau bertingkat-tingkat. Adapun sabda Nabi yang lain yang lebih menguatkan hal ini adalah :

الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَ سَبْعُوْنَ شُعْبَة فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَ الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

“Iman itu memiliki lebih dari 70 cabang, yang paling utama adalah kalimat syahadat Laa ilaaha illallohu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR Muslim)

Tidak ada komentar: