Dari
Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Orang
yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan
orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta
berangan-angan terhadap Allah SWT.' (Imam Turmudzi) mengatakan, 'bahwa
hadits ini adalah hadits hasan. Dan makna dari sabda Rasulullah SAW
'menhisab/ mengevaluasi dirinya' adalah ‘orang yang menghisab
(mengevaluasi diri) di dunia sebelum dihisab pada hari akhir.’ (HR.
Turmudzi)
Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut :
1 Sebagai
seorang muslim, hendaknya kita selalu melakukan muhasabah (baca ;
evaluasi) dalam setiap aktivitas kehidupan kita, baik menyangkut aspek
kehidupan dunia (aspek pekerjaan) maupun juga aspek kehidupan akhirat.
Karena berdasarkan hadits di atas, bahwa orang yang cerdas (baca ;
sukses) adalah orang mengevaluasi dirinya sendiri dan beramal untuk
kehidupan setelah kematiannya. Muhasabah atau evaluasi dapat dilakukan
setiap pekan, setiap bulan, setiap triwulan, setiap semester, atau
setiap setahun sekali.
2
Mengevaluasi atau menghisab diri sendiri sangat penting dalam kehidupan
seorang muslim. Karena dengan evaluasi, seseorang dapat mengetahui
porsinya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, baik terkait dengan
orang lain (muamalah dan pekerjaannya), maupun terkait dengan
hubungannya secara langsung kepada Allah SWT. Dan demikian pentingnya
evaluasi, hingga banyak ungkapan dari salafuna shaleh tentang evaluasi
(muhasabah) diantaranya adalah :
a. Muhasabah akan meringankan hisab di yaumul akhir. Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khatab ra, mengatakan :
Umar bin
Khatab ra berkata, ‘hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian
dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kaliau untuk hari aradh akbar
(yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari
kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
b.
Muahasabah merupakan ciri dan karakter orang beriman. Maimun bin Mihran
ra, salah seorang tabi'iin (40h - 117h) dalam sebuah riwayat disebutkan :
Dan dari
Maimun bin Mihran bahwa ia berkata, seorang hamba tidak diakatan
bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisabnya pengikutnya
dari mana makanan dan pakaiannya.
c.
Muhasabah merupakan kunci kesuksesan seseorang di dunia maupun di
akhirat, - sebagaimana di sebutkan dalam hadits diatas -, bahwa orang
yang cerdas (baca ; sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya
sendiri dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya...
d. Setiap
orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT dengan
kondisi sendirisendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal
perbuatannya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur'an : “Dan tiap-tiap
mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.”
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
3 Evaluasi
atau muhasabah, hendaknya berimbang dalam aspek kehidupan baik dunia
maupun akhirat. Ibarat dua sayap burung yang sedang terbang, kedua sayap
harus bergerak seimbang. Demikian juga kita perlu seimbang dalam
mengevaluasi antara aspek duniawi dan aspek ukhrawi. Tidak seyogianya,
muhasabah dilakukan hanya pada aspek dunia saja; seperti aspek
pekerjaan, penghasilan, target dan sebagainya, namun muhasabah juga
harus dilakukan pada aspek kehidupan akhirat, seperti aspek ibadah
kepada Allah SWT. Diantara hal-hal yang perlu dievaluasi dalam kehidupan
kita adalah sebagai berikut :
a. Aspek
Ibadah Evaluasi aspek ibadah sangat penting, karena ibadah merupakan
esensi dari keberadaan kita di dunia ini sebagaimana yang difirmankan
Allah SWT, “Dan tidaklah Aku mencipkatan jin dan manusia, melainkan agar
mereka menyembah kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat : 56). Oleh karenanya
aspek ibadah perlu menjadi perhatian besar bagi setiap muslim dalam
melakukan valuasi atau muhasabah. Secara garis besar, ibadah mencakup
dua hal ; ibadah yang wajib dan ibadah yang sunnah.
➢ Ibadah
Wajib Ibadah wajib adalah ibadah yang tidak bisa tidak, harus dikerjakan
oleh setiap muslim. Ibadah yang wajib ini minimal sekali adalah ibadah
yang terdapat dalam rukun Islam; seperti shalat, puasa, zakat dan juga
haji. Masing-masing dari ibadah ini perlu kita evaluasi, seperti pada
aspek shalat; sudah sempurnakan shalat kita? Apakah kita mengerjakannya
tepat pada waktunya? Berjamaah di masjidkah shalat kita?, dsb. Apabila
kita mendapatkan kelemahan pada sisi shalat, misalnya jarang berjamaah
di masjid, maka kuatkan azam untuk senantiasa dapat shalat berjamaah di
masjid. Demikian juga dengan aspek puasa (ramadhan). Apabila kita merasa
banyak kekurangan dalam sisi ibadah puasa ramadhan tahun 1432 H ini,
misalnya masih banyak waktu digunakan untuk sesuatu yang kurang
bermanfaat di bulan ramadhan. Maka tahun 1433 H ini, harus lebih baik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Demikian juga dengan zakat dan
juga ibadah haji.
➢ Ibadah
Sunnah Rasulullah SAW sendiri memberikan perhatian yang demikian
besarnya pada aspek ibadah sunnah. Perhatikan saja sebagaimana yang
diakatakan Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW shalat malam hingga kedua
kakinya bengkak-bengkak. (HR. Bukhari Muslim) Kemudian bagaimana juga
antusias beliau dalam berpuasa sunnah, dalam berdzikir, dalam
memperbanyak istighfar dan taubat, dalam berbuat ihsan, dsb. Oleh karena
itulah, hendaknya ibadah-ibadah sunnah yang kita lakukan dievaluasi,
untuk kemudian membuat program ibadah sunnah untuk tahun 1432 H yang
lebih baik daripada tahun 1433 H.
b. Aspek
Pekerjaan & Perolehan Rizki Alhamdulillah, kita bekerja pada
lingkungan pekerjaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan
keimanan kepada Allah SWT. Namun walau bagaimanapun juga kita semua
adalah kumpulan manusia-manusia biasa, yang sangat mungkin terpeleset
dalam lembah yang sangat dibenci Allah SWT, seperti praktik risywah,
melalaikan amanah, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya,
manipulasi absensi, menjilat atasan – menginjak bawahan – sikut kiri
kanan, ikhtilat dengan lawan jenis, dsb (na'udzubillah min dzalik).
Hal-hal tersebut perlu kita evaluasi, untuk kemudian kita lakukan
perbaikan pada tahun yang akan datang. Rasulullah SAW mengingatkan kita
bahwa kelak pada yaumul hisab, semua akan dipertanyakan oleh Allah SWT,
termasuk di dalamnya perihal perolehan rizki kita. Demi Allah, bahwa Rp
500,- yang kita dapatkan pun kelak akan dimintai pertanggung jawaban
dari Allah SWT (perhatikan teks hadits yang digaris bawahi):
Dari Ibnu
Mas’ud ra dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan
bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya
tentang 5 perkara; 1. umurnya untuk apa dihabiskannya, 2. masa mudanya,
kemana dipergunakannya, 3. hartanya darimana ia memperolehnya & 4.
kemana ia membelanjakannya, 5. serta ilmunya sejauh mana diamalkannya?’
(HR. Turmudzi)
Alangkah
meruginya seseorang, yang apabila kelak di akhirat ia tidak bisa
mempertanggung jawabkan rizki yang perolehnya, atau ada sesuatu yang
“haram” masuk ke dalam rekening atau ke dalam kantongnya. Karena demi
Allah, itu semua kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah SWT.
Para ulama mengatakan, bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah
“berhati-hati” dalam sisi halal dan haramnya rizki. Hadits di atas
menggambarkan bahwa orang yang tidak bisa menjelaskan rizkinya yang
diperolehnya dalam kehidupannya di dunia, kelak tidak bisa menggerakkan
tapak kakinya dihadapan Allah SWT.
c. Aspek
kehidupan sosial (hubungan antara sesama manusia) Aspek ini juga
merupakan aspek yang sangat penting untuk dievaluasi. Karena manusia
adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan orang lain dalam
menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Kita perlu mengevaluasi
berkenaan dengan hubungan kita terhadap orang lain. Misalnya, apakah
selama ini kehadiran kita “menentramkan” orang lain yang ada disekitar
kita?, atau justru sebaliknya; kehadiran, perkataan dan juga perbuatan
kita selama ini menyakitkan hati orang atau bahkan mendzalimi orang
lain? (na'udzubillah min dzalik). Sebuah hadits shahih mengingatkan kita
:
Dari Abu
Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian siapakah
orang yang bangkrut itu?” Sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut adalah
orang yang tidak punya uang dan tidak punya harta benda.” Rasulullah
SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang
kepada Allah SWT pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa
dan zakat. Namun ia juga datang membawa (dosa) suka mencela si Fulan,
menuduh si Fulan, memakan harta si Fulan, mencederai darah si Fulan dan
memukul si Fulan dsb. Maka akan diberikanlahlah pahalanya kepada si
Fulan dan si Fulan (orang-orang yang didzaliminya). Dan apabila pahala
kebaikannya telah habis sebelum ia menuntaskan kepada orang-orang yang
didzaliminya, maka diambillah dosa-dosa mereka lalu dilemparkan
kepadanya, lalu ia pun dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
4. Selain
evaluasi atau muhasabah, setiap muslim juga perlu menanamkan visi dalam
hidupnya, yaitu bahwa orientasi hidupnya adalah untuk kehidupan setelah
kematiannya. Hadits diatas menggambarkan demikian, bahwa orang yang
cerdas (bacaa ; sukses) adalah orang yang mengevaluasi dirinya sendiri
serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya”. Sehingga
sesungguhnya visi setiap muslim tidak hanya terbatas pada 5, 10 atau 20
tahun yang akan datang. Namun visi seorang muslim adalah menembus
dimensi kehidupan dunianya, hingga ke dimensi kehidupan akhirat
(kehidupan setelah kematiannya). Apabila visi seperti ini tertanam dalam
diri setiap muslim, maka dapat dipastikan (insya Allah) bahwa dalam
bekerja, beraktivitas, beribadah, dan dalam segala ativitas hidupnya, ia
akan hanya memiliki orienasi kepada Allah dan karena Allah SWT semata.
Dan inilah sesungguhnya implementasi dari firman Allah SWT :
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al-An'am : 162)
Jadi
ternyata, untuk menjdi hamba Allah sejati yang dapat memasrahkan
segala-galanya kepada Allah, cukup dimulai dengan dua hal sederhana dan
dapat kita lakukan mulai sekarang juga, yaitu : pertama muhasabah
(evaluasi) diri sendiri, dan kedua memiliki visi (beramal) untuk
kehidupan akhiratnya. Jadi marilah kita mulai dari sekarang, untuk
melakukan muhasabah serta menanamkan visi yang menembus dimensi
kehidupan dunia, ke dimensi kehidupan akhirat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar